Hello everyone, good morning! Its raining in Samarinda, a lil bit cold, really (bukan kode)
Sooo, I wanna post my second story. Actually I made this on Monday after school, and finished it at 10pm. Tapiii karena ada problem jadi ga di pos waktu itu.
Oh iya, ini namanya songfiction. Based on Marcell's song: Takkan Terganti
So enjoy and i wait for your comment :)
Telah lama sendiri dalam langkah sepi…
Aku menikmati angin sore yang bertiup lembut, menerbangkan helai-helai rambutku perlahan. Anginnya menyejukkan; membuatku tambah betah berlama-lama duduk disini.
Kutatap matahari sore yang sebentar lagi akan bersembunyi. Matahari itu ingin tidur, begitulah yang kukatakan setiap hari. Menonton matahari ingin tidur dan melihat langit membelainya sudah menjadi kegiatan rutinku setiap hari, selama berbelas-belas tahun.
Karena menatap langit sore, membuatku merasa tidak kesepian. Merasa bebas, dan yang jelas: bahagia.
Kupasang headset di telingaku, kuputar instrument Love Me dari Yiruma. Gak ada yang lebih indah daripada duduk di taman belakang rumahku, menatap langit sore sambil dengerin instrument yang bikin tenang.
Angin bertiup lagi. Membuatku bergidik sebentar.
Aku menghela nafas. Kulirik sebelahku, kosong. Belum pernah ada yang menempati. Karena aku, selama berbelas-belas tahun ini selalu sendiri.
Sebenarnya semua ini bakalan terasa sempurna apabila ada seseorang di sebelahku. Menemaniku. Berbagi tawa, berbagi langit sore, dan berbagi kebahagiaan.
Sayangnya, belum pernah ada yang duduk disini, disebelahku.
Aku tersenyum kecil, berusaha menyemangati diriku sendiri. Ku ambil hapeku, kemudian mengabadikan langit sore, sambil terus mengharapkan hal yang kumpikan sejak kecil.
Menatap langit sore bersama seseorang yang aku cintai
***
“Kylan!”
Aku menoleh. Kulihat Laura mendatangiku. “Hai, kenapa?” tanyaku.
“Temenin aku ke administrasi dong, mau gak? Ada yang perlu diurus nih…” kata Laura, menatapku penuh permohonan.
Kuliah sudah selesai hari ini, udah gak ada mata kuliah lagi, maka aku mengangguk. Kulihat Laura tersenyum senang.
Aku dan Laura berjalan di koridor kampus yang lumayan ramai. Kuperhatikan Laura, sahabatku selama 3 tahun ini, berceloteh dengan riang, seakan-akan tidak ada beban yang ia pendam selama ini. Padahal, mungkin bebannya jauh lebih berat daripada orang lain.
Setahun yang lalu, pacar Laura, Tommy, meninggal karena kecelakaan. Aku tau Tommy memang pacar Laura sejak SMA. Pemuda tampan dengan badan tegap, ramah, baik, namun memang terkadang suka mengambil keputusan tanpa dipikir terlebih dahulu.
Tommy meninggal karena ikut balapan motor. Dia ikut itu karena uang. Dia butuh uang buat beli cincin, to marry Laura. Tapi, saat lomba itu, Tommy kecelakaan. Dan waktu itu, Laura lagi sama aku. Dan dia… shock bukan main.
Aku lega ngeliat Laura yang sekarang. Seenggaknya udah ada tanda-tanda kehidupan di dirinya. Gak kayak setahun yang lalu, kayak mayat hidup. Bener-bener kosong.
Kami berdua sampai di administrasi. Laura langsung mendatangi petugasnya, sedangkan aku menunggu sambil mengeluarkan kertas pemberitahuan yang baru saja kudapat.
Beberapa menit kemudian, Laura sudah berdiri disampingku, kemudian kami berjalan meninggalkan ruang administrasi.
Saat menuruni tangga, aku teringat kertas pemberitahuanku yang tadi kubaca. Wait… wait… Tadi udah aku masukin tas belum ya?
Aku berhenti berjalan, langsung mengecek tasku. Kucari buru-buru, dan ternyata…. Gak ada.
“La, kertas pemberitahuan punyaku hilang…” keluhku, sambil tetap mencari.
Sooo, I wanna post my second story. Actually I made this on Monday after school, and finished it at 10pm. Tapiii karena ada problem jadi ga di pos waktu itu.
Oh iya, ini namanya songfiction. Based on Marcell's song: Takkan Terganti
So enjoy and i wait for your comment :)
Telah lama sendiri dalam langkah sepi…
Aku menikmati angin sore yang bertiup lembut, menerbangkan helai-helai rambutku perlahan. Anginnya menyejukkan; membuatku tambah betah berlama-lama duduk disini.
Kutatap matahari sore yang sebentar lagi akan bersembunyi. Matahari itu ingin tidur, begitulah yang kukatakan setiap hari. Menonton matahari ingin tidur dan melihat langit membelainya sudah menjadi kegiatan rutinku setiap hari, selama berbelas-belas tahun.
Karena menatap langit sore, membuatku merasa tidak kesepian. Merasa bebas, dan yang jelas: bahagia.
Kupasang headset di telingaku, kuputar instrument Love Me dari Yiruma. Gak ada yang lebih indah daripada duduk di taman belakang rumahku, menatap langit sore sambil dengerin instrument yang bikin tenang.
Angin bertiup lagi. Membuatku bergidik sebentar.
Aku menghela nafas. Kulirik sebelahku, kosong. Belum pernah ada yang menempati. Karena aku, selama berbelas-belas tahun ini selalu sendiri.
Sebenarnya semua ini bakalan terasa sempurna apabila ada seseorang di sebelahku. Menemaniku. Berbagi tawa, berbagi langit sore, dan berbagi kebahagiaan.
Sayangnya, belum pernah ada yang duduk disini, disebelahku.
Aku tersenyum kecil, berusaha menyemangati diriku sendiri. Ku ambil hapeku, kemudian mengabadikan langit sore, sambil terus mengharapkan hal yang kumpikan sejak kecil.
Menatap langit sore bersama seseorang yang aku cintai
***
“Kylan!”
Aku menoleh. Kulihat Laura mendatangiku. “Hai, kenapa?” tanyaku.
“Temenin aku ke administrasi dong, mau gak? Ada yang perlu diurus nih…” kata Laura, menatapku penuh permohonan.
Kuliah sudah selesai hari ini, udah gak ada mata kuliah lagi, maka aku mengangguk. Kulihat Laura tersenyum senang.
Aku dan Laura berjalan di koridor kampus yang lumayan ramai. Kuperhatikan Laura, sahabatku selama 3 tahun ini, berceloteh dengan riang, seakan-akan tidak ada beban yang ia pendam selama ini. Padahal, mungkin bebannya jauh lebih berat daripada orang lain.
Setahun yang lalu, pacar Laura, Tommy, meninggal karena kecelakaan. Aku tau Tommy memang pacar Laura sejak SMA. Pemuda tampan dengan badan tegap, ramah, baik, namun memang terkadang suka mengambil keputusan tanpa dipikir terlebih dahulu.
Tommy meninggal karena ikut balapan motor. Dia ikut itu karena uang. Dia butuh uang buat beli cincin, to marry Laura. Tapi, saat lomba itu, Tommy kecelakaan. Dan waktu itu, Laura lagi sama aku. Dan dia… shock bukan main.
Aku lega ngeliat Laura yang sekarang. Seenggaknya udah ada tanda-tanda kehidupan di dirinya. Gak kayak setahun yang lalu, kayak mayat hidup. Bener-bener kosong.
Kami berdua sampai di administrasi. Laura langsung mendatangi petugasnya, sedangkan aku menunggu sambil mengeluarkan kertas pemberitahuan yang baru saja kudapat.
Beberapa menit kemudian, Laura sudah berdiri disampingku, kemudian kami berjalan meninggalkan ruang administrasi.
Saat menuruni tangga, aku teringat kertas pemberitahuanku yang tadi kubaca. Wait… wait… Tadi udah aku masukin tas belum ya?
Aku berhenti berjalan, langsung mengecek tasku. Kucari buru-buru, dan ternyata…. Gak ada.
“La, kertas pemberitahuan punyaku hilang…” keluhku, sambil tetap mencari.