Hai everyone! Ini cerita bikinnya lumayan sebentar hehe. Padahal mau di post di thumbstory, cuma kepanjangan. Yaudah post disini duu. Enjoy! :D
Kalau aku bilang cinta itu sederhana, apa kamu akan percaya?
***
Aku duduk di cafe favoritku seperti biasa. Meja yang sama, bersebelahan dengan jendela, setiap harinya. Seperti hari-hari sebelumnya, aku sedang menikmati Vanilla Latte yang kupesan tadi. Namun sepertinya hari ini ada yang berbeda disini.
Pintu cafe terbuka. Masuklah seorang pria yang beberapa kali memang terkadang datang kesini.
Kulihat ia duduk di sudut cafe, membawa buku-bukunya yang terlihat sangat berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah menekuni buku itu, hanyut didalamnya.
Aku sendiri kembali meminum Vanilla Latteku seraya melihat ke luar jendela. Menatap hujan yang turun, dan mengawasi berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang saat hujan menerpa.
Aku menghela nafas. Inilah hidupku sehari-hari sejak kepergiannya.
***
Aku memasuki cafe pagi ini, membawa setumpuk kertas-kertas yang harus kuselesaikan dengan menuliskan puisi di atasnya.
Begitu aku baru mau melangkahkan kaki ke meja yang seperti biasa kutempati, kulihat ada seorang pria yang sudah duduk disana.
Aku segera bergegas kearah meja kasir, mendatangi Max-pelayan yang sudah jadi temanku sejak pertama kali menginjakkan kaki dicafe ini.
"Max," sapaku. Kulihat Max mendongak menatapku, tangannya sibuk menyusun gelas-gelas. "Kau lihat disana? Ada pria yang duduk ditempatku."
Max menatap pria itu, lalu menatapku. "Alice, pria itu pengunjung disini, berhak duduk dimana saja."
Aku memutar bola mataku. "Max, kau tahu itu tempat favoritku sejak dua tahun lalu."
Max kemudian tersenyum begitu mendengar suaraku yang memelas. "Oke, baiklah, Al. Bagaimana kalau kau datang kesana, dan bilang saja padanya?"
Aku menatap Max sejenak. "Baiklah. Kalau pria itu marah, kau yang harus bertanggung jawab!"
Seusai berkata begitu, aku pun segera berjalan ke meja yang biasa kutempati. Begitu sampai disana, kusadari bahwa pria yang berada didepanku adalah pria yang sering duduk disudut cafe, dengan buku-bukunya yang tebal.
Aku berdeham-deham. Namun pria itu masih membaca bukunya. Baiklah,tidak ada pilihan lain.
"Err, permisi, Tuan," kataku. Pria itu langsung mendongak, dan baru pertama kalinya aku melihat wajah pria itu secara dekat setelah setahun ini.
Wajahnya kecil, matanya pun begitu-dengan warna cokelat pekat, matanya terlihat sangat hangat. Wajahnya putih bersinar, dan bibirnya merah. Rahangnya keras. Singkatnya, pria ini sangat menarik, kalau saja aku sedang tidak dalam keadaan terdesak.
"Ada apa?" Suaranya terdengar tidak asing ditelingaku.
"Kurasa kau sudah pernah melihatku sebelumnya, aku pun begitu terhadapmu. Kau selalu duduk di sudut sana-" Kutunjuk meja di sudut cafe. "-bersama buku-bukumu yang tebal. Dan aku yakin kau pun tau kalau tempat yang kau duduki sekarang ini adalah tempatku."
Pria itu menatapku tepat dimata, membuatku sedikit gemetar. Namun kemudian ia berkata, "Bukannya pengunjung bisa duduk dimana saja?"
Aku terdiam sebentar. "Tentu saja, tapi toh ini tempatku selama dua tahun. Dan kenapa kau tiba-tiba duduk disini?"
Pria itu terkekeh. "Baiklah, Nona. Bagaimana kalau kau duduk saja disini, kursi di meja ini toh ada dua."
Kalau aku bilang cinta itu sederhana, apa kamu akan percaya?
***
Aku duduk di cafe favoritku seperti biasa. Meja yang sama, bersebelahan dengan jendela, setiap harinya. Seperti hari-hari sebelumnya, aku sedang menikmati Vanilla Latte yang kupesan tadi. Namun sepertinya hari ini ada yang berbeda disini.
Pintu cafe terbuka. Masuklah seorang pria yang beberapa kali memang terkadang datang kesini.
Kulihat ia duduk di sudut cafe, membawa buku-bukunya yang terlihat sangat berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah menekuni buku itu, hanyut didalamnya.
Aku sendiri kembali meminum Vanilla Latteku seraya melihat ke luar jendela. Menatap hujan yang turun, dan mengawasi berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang saat hujan menerpa.
Aku menghela nafas. Inilah hidupku sehari-hari sejak kepergiannya.
***
Aku memasuki cafe pagi ini, membawa setumpuk kertas-kertas yang harus kuselesaikan dengan menuliskan puisi di atasnya.
Begitu aku baru mau melangkahkan kaki ke meja yang seperti biasa kutempati, kulihat ada seorang pria yang sudah duduk disana.
Aku segera bergegas kearah meja kasir, mendatangi Max-pelayan yang sudah jadi temanku sejak pertama kali menginjakkan kaki dicafe ini.
"Max," sapaku. Kulihat Max mendongak menatapku, tangannya sibuk menyusun gelas-gelas. "Kau lihat disana? Ada pria yang duduk ditempatku."
Max menatap pria itu, lalu menatapku. "Alice, pria itu pengunjung disini, berhak duduk dimana saja."
Aku memutar bola mataku. "Max, kau tahu itu tempat favoritku sejak dua tahun lalu."
Max kemudian tersenyum begitu mendengar suaraku yang memelas. "Oke, baiklah, Al. Bagaimana kalau kau datang kesana, dan bilang saja padanya?"
Aku menatap Max sejenak. "Baiklah. Kalau pria itu marah, kau yang harus bertanggung jawab!"
Seusai berkata begitu, aku pun segera berjalan ke meja yang biasa kutempati. Begitu sampai disana, kusadari bahwa pria yang berada didepanku adalah pria yang sering duduk disudut cafe, dengan buku-bukunya yang tebal.
Aku berdeham-deham. Namun pria itu masih membaca bukunya. Baiklah,tidak ada pilihan lain.
"Err, permisi, Tuan," kataku. Pria itu langsung mendongak, dan baru pertama kalinya aku melihat wajah pria itu secara dekat setelah setahun ini.
Wajahnya kecil, matanya pun begitu-dengan warna cokelat pekat, matanya terlihat sangat hangat. Wajahnya putih bersinar, dan bibirnya merah. Rahangnya keras. Singkatnya, pria ini sangat menarik, kalau saja aku sedang tidak dalam keadaan terdesak.
"Ada apa?" Suaranya terdengar tidak asing ditelingaku.
"Kurasa kau sudah pernah melihatku sebelumnya, aku pun begitu terhadapmu. Kau selalu duduk di sudut sana-" Kutunjuk meja di sudut cafe. "-bersama buku-bukumu yang tebal. Dan aku yakin kau pun tau kalau tempat yang kau duduki sekarang ini adalah tempatku."
Pria itu menatapku tepat dimata, membuatku sedikit gemetar. Namun kemudian ia berkata, "Bukannya pengunjung bisa duduk dimana saja?"
Aku terdiam sebentar. "Tentu saja, tapi toh ini tempatku selama dua tahun. Dan kenapa kau tiba-tiba duduk disini?"
Pria itu terkekeh. "Baiklah, Nona. Bagaimana kalau kau duduk saja disini, kursi di meja ini toh ada dua."