Tell Laura I Lover Her

by - 20.58


Hello everybody, this is the first story that I want to publish. I really love writing story, and one day I hope I can be an author. Bismillah, amin :)xx
Cerita ini diangkat dari lagu lawas, judulnya "Tell Laura I Love Her." Actually, cerita ini udah selesai aku bikin waktu bulan puasa, cuma baru pengen dan sempat di pos sekarang ehek ehek :D
So, hope you like this story. Ditunggu saran dan komentarnya ;)xx
Oh yeah, Happy Eid Adha 1434 H! ;) xoxo

“Laura!”
            Terlihat seorang gadis tinggi semampai dengan rambut melewati bahu berwarna hitam membalikkan badannya.
            Wajahnya yang putih bersih itu merengut, kemudian berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.
            “Tommy! Why do you take so long?” tanyanya. Lalu ia berhenti berjalan dan berdiri di depan seorang pria. Pria itu jauh lebih tinggi daripada Laura.
            Tommy hanya tertawa, lalu ia mengacak-acak rambut Laura. “Laura, sorry, tadi jalanan macet, yaa biasalah, kayak gak tau aja kalo udah macet gimana. Yaudah yuk, jangan ngambek gitu, deh… Nanti tambah jelek loh…”
            Laura tambah merengut. “Well, aku bisa pulang sendiri. Udah, deh, sana,” kata Laura ngambek, kemudian berjalan pergi meninggalkan Tommy.
            Tommy tertawa. Laura, gadis yang sudah bersamanya selama 5 tahun itu kalau ngambek memang tidak pernah serius. Merengut pun mungkin hanya topeng baginya, padahal dalam hati ia biasa saja.
            Bukan sekali ini Laura ‘ngambek’, maka Tommy pun tau apa yang harus ia lakukan.
            Tommy mengikuti Laura dari belakang perlahan-lahan sambil tersenyum geli; Laura lucu sekali.
            Laura yang tau dirinya diikuti pun mempercepat langkahnya. Dengan masih wajah merengut, ia pun berusaha menahan senyumnya.
            Mereka berdua pun akhirnya berjalan cepat-cepat, sampai akhirnya Tommy berlari dan memeluk Laura dari belakang.
            Laura tertawa. “Tommy, stop it!” seru Laura, berusaha meredam tawanya, dan memasang kembali wajah cemberutnya.
            Tommy segera menggeleng. “No way. You’re in my arms now, jadi, jangan ngambek lagi, okay?” tanya Tommy, masih memeluk Laura dari belakang.
            Laura menutup matanya. Sebenarnya ia tidak pernah bisa marah ke Tommy, selama apapun Tommy datang untuk menjemputnya. Yang ia lakukan tadi hanyalah pura-pura.
            “Okay, okay…” kata Laura.
            Tommy kemudian meletakkan wajahnya di bahu Laura. “Wanna ice cream?” tanya Tommy, tersenyum.
            Laura tertawa. “Yes, Sir!”
             Tommy pun ikut tertawa lalu merangkul Laura, berjalan beriringan menuju senja.
            Laura and Tommy were lovers, he wanted to give her everything.
***
            Laura duduk di sofa kamarnya, menghadap jendela yang baru saja ia buka. Matanya tak lepas-lepas menatap langit malam kali ini yang bertabur bintang.
            Lalu ia menatap meja panjang yang ada di sudut kamarnya. Di atas meja itu, semua foto-fotonya terpajang, dan barang-barang lainnya yang sangat penting.
            Laura beranjak dari sofa, lalu berjalan ke arah meja panjang itu dan mengambil satu foto yang sudah ia beri frame.
            Fotonya dengan Tommy saat sunset di padang ilalang-tempat favorit mereka berdua-untuk merayakan anniversary mereka yang ke empat.
            Laura tersenyum. Hatinya seketika hangat. Tangannya kemudian meraih foto lainnya; foto waktu kelulusan SMA, 4 tahun lalu bersama Tommy.
            Lalu Laura mengambil sebuah hiasan meja dari kaca berbentuk bulat yang didalamnya terdapat dua patung kecil, berpasangan dengan tangan saling bertaut. Ia mengingatnya sebagai hadiah ulang tahun dari Tommy, yang juga bertepatan dengan anniversary mereka yang ketiga.
            Tommy adalah pria yang dikenalnya sejak masuk SMA dulu. Cowok supel dengan tampang lumayan, dan masuk deretan Top Ten disekolahnya. Laura sendiri gadis biasa-biasa saja yang tidak terlalu aktif di organisasi sekolah, berbeda dengan Tommy yang sepertinya semua murid kenal.
            Namun, Tommy sendiri tidak pusing-pusing dengan gadis-gadis yang mengejarnya, ia sendiri sudah punya seseorang untuk dikejar: Laura. Gadis manis namun tampak pendiam itu telah menyita seluruh perhatiannya, dan di tahun kedua mereka bersekolah, Tommy menyatakan perasaannya di lapangan basket sekolah. Dan sejak saat itu, Tommy dan Laura dikenal sebagai ‘sweet couple ever’ di sekolah.
            TUK!
            Laura mendongak, tersadar dari lamunannya.
            TUK!
            “What’s that?” gumam Laura.
            Ia lalu menaruh bola kaca itu di atas meja, dan berjalan ke arah jendela. Tepat pada saat ia berada di depan jendela, ia melihat batu kerikil dilemparkan ke ujung jendela.
            Laura melihat kebawah melalui jendela, lalu ia tertawa. “What are you doing there?”
            Tommy yang ada di taman rumah Laura pun tertawa. “Come here, Laura!”
            Laura mengangguk, kemudian keluar dari kamarnya dan segera berlari menemui Tommy yang berada di taman rumahnya.
            “Laura, mau kemana?” tanya Mama.
            Laura berhenti berlari, ia tersenyum ceria. “Ada Tommy, Ma, diluar.”
            Mama tersenyum maklum. “Oh yaudah, sana.”
            Laura tertawa girang, kemudian membuka pintu depan dan berlari menghambur keluar mendatangi Tommy yang sudah merentangkan tangannya untuk memeluk Laura.
            “Oh God, I miss you,” bisik Laura sambil memeluk Tommy.
            Terdengar tawa Tommy. “Me too,” kata Tommy, kemudian melepaskan pelukannya untuk menatap wajah Laura. “You even more beautiful than last morning.”
            Laura tertawa. “Aduh, Tommy, mulai yaa….” kata Laura. “Anyway, ngapain kesini?”
            “Oh, wait!” seru Tommy.
            Laura kemudian mengawasi Tommy yang berjalan ke arah motor ninja nya yang terparkir di depan rumahnya.
            Semenit kemudian, Tommy berjalan ke arahnya dengan tangan kanan berada di balik tubuhnya, menyembunyikan sesuatu. “I have something for you…”
            “I know,” kata Laura sambil tersenyum.
            Tommy berada di depannya, kemudian memberikan sebuket bunga.
            Laura terpekik senang, kemudian segera mengambilnya dari tangan Tommy dan mendekapnya. “Thank you, Tommy!”
            “Don’t you want to smell it? Kayak di film-film gitu, biasanya kalau habis dikasih bunga kan dicium gitu,” kata Tommy.
            Laura menggeleng. “Mainstream banget. Udah biasa dicium gitu, lagian aku tau pasti baunya ya gitu-gitu aja,”
            Tommy tertawa. “Kamu tuh emang beda ya…” Tommy mencubit pipi Laura gemas. “Anyway, itu bukan buket bunga biasa loh.”
            “Well, I see. Bunganya beda-beda semua,” sahut Laura pelan. “Tapi ini keren. Daripada mawar semua, kan bosan hehehe….”
            Tommy ikut tertawa. “Its not like that. Tadi, dari rumah aku belum kepikiran buat beliin kamu bunga. Pas di jalan, aku ngumpulin bunga itu satu persatu. Ada yang aku beli dari toko bunga, ada yang aku liat di taman gitu, macam-macam deh. Makanya jadi bervariasi gitu.”
            Laura tersenyum. Tommy memang selalu tau caranya bikin dia melting. “This is just so sweet, thanks Tommy.”
            Tommy tersenyum. “Well, ini semua bukan apa-apa kok. 5 tahun kita bareng-bareng, dan ada satu benda lagi yang pengen aku kasih ke kamu.”
            Laura menaikkan alisnya. “Apa?”
            “Rahasia dong,” kata Tommy.
            Laura cemberut. “Aku jadi kepo………..”
            Tommy tertawa. “Udah ah gak boleh kepo, yang jelas, this thing will be sooo important. For us,” kata Tommy. “Dan juga, benda ini belum bisa aku beli sekarang.”
            Laura diam. Ia berpikir keras. Benda apa yang bakalan penting buat mereka berdua dan Tommy belum bisa beli?
            “Udaah, gak usah dipikirin,” kata Tommy, kemudian merangkul Laura. “How bout watch the starts together tonight?”
            Bayangan menatap bintang bersama Tommy pun mengusir rasa penasarannya. Laura mengangguk kemudian melupakan benda itu.
            Flowers, presents and most of all….
            A wedding ring?
***
            Tommy menjalankan motornya cepat-cepat; Laura pasti sudah menunggunya di café daritadi.
            Sepanjang perjalanan menuju café, Tommy selalu memperhatikan jam tangannya sekali-sekali, menduga-duga sudah berapa puluh menit ia terlambat.
            Lampu merah.
            Tommy memberhentikan motornya, lalu melihat jalanan yang lumayan padat. Sesekali ia melirik jam tangannya. Sudah 20 menit ia terlambat; Laura pasti sudah menunggunya dari tadi.
            Hingga akhirnya, saat Tommy mengarahkan pandangannya ke arah kanan, ia melihat sebuah spanduk yang tidak terlalu besar. Spanduk itu mengatakan bahwa ada lomba balap motor, dan hadiahnya membuat Tommy terpaku.
            Lomba balap motor, besok… dan hadiahnya lebih dari cukup buat beli cincin itu, pikir Tommy.
            Lampu hijau.
            Tommy segera memacu motornya, dan selama perjalanan, ia memikirkan spanduk yang ia lihat. Ikut lomba itu dan bisa beli cincin tapi agak bahaya…. atau nabung sendiri tapi nunggu lama?
            Tak lama kemudian, Tommy sampai di café dan ia segera turun dari motornya. Ia berlari kecil memasuki café, dan mencari Laura.
            “Oh, she’s there,” gumam Tommy begitu melihat Laura yang duduk menghadap meja di samping café.
            Tommy berjalan ke arah Laura, dan ia melihat wajah Laura cemas, panik. Dan begitu melihat wajah Laura, sebuah keputusan terlintas di benak Tommy.
            “Laura, I’m sorry, aku tau ini udah telat banget, sorry, truly sorry….” ucap Tommy begitu duduk di hadapan Laura.
            Laura hanya diam. Ia menatap Tommy lamat-lamat. “Tom, aku kira kamu kenapa-kenapa di jalan.”
            Tommy menatap Laura. “I’m fine, baby.”
            Tommy mendengar Laura menghela nafas. Dan ia takjub bahwa Laura tidak marah sama sekali; malah mengkhawatirkannya.
            “Laura, aku baru aja mutusin sesuatu!” kata Tommy, antusias.
            Laura menaikkan alisnya. “What?”
            “Masih rahasia, tapi ini buat kamu,” kata Tommy. “Dan benda yang aku bilang tadi malam, mungkin aja bentar lagi bisa aku beli.”
            “Kamu mau ngapain?” tanya Laura, mulai terlihat panik.
            “This is not a bad thing, kok. Yang jelas gak haram, udah itu aja,” kata Tommy, tersenyum menenangkan.
            Namun tetap tidak mengusir rasa panik dari wajah Laura. “Gak haram, tapi bahaya gak?” tanya Laura.
            Tommy terdiam sesaat. “Well, gak kok. Aku bakalan hati-hati.”
            Entah kenapa Laura sepertinya masih tidak yakin, maka Tommy mengalihkan pembicaraan dan wajah Laura terlihat sedikit lebih cerah dari sebelumnya.
            Sudah pukul 6 sore, dan Laura mengajak Tommy pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Laura lebih banyak diam, dan ini membuat Tommy bingung.
            Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di rumah Laura. Tommy melepas helmnya, namun tidak beranjak dari motor, lalu ditatapnya Laura yang berdiri di depannya.
            “See ya tomorrow,” kata Tommy sambil mengelus kepala Laura.
            Laura tersenyum. “Thanks for today, Tom. Hati-hati di jalan, jangan ngebut,” kata Laura.
            Tommy mengangguk, kemudian mengecup kening Laura, dan memeluknya. “I love you.”
            Tommy melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum, memakai helmnya. Lalu ia memacu motornya kencang, dan merasakan betapa bahagianya kalau ia bisa berlutut di depan Laura, dan memberikan cincin itu.
***
            Laura memperhatikan punggung Tommy yang semakin menjauh, dan perasaannya mulai tak tenang.
            Laura berjalan cepat memasuki rumahnya, dan begitu ia sampai di ruang tengah, Mama memanggilnya, “How was your day, Laura?”
            “Not bad, Ma,” kata Laura singkat, kemudian segera menaiki tangga dan berjalan ke kamarnya.      
            Begitu di kamar, Laura mondar-mandir tak tentu arah. Baru kali ini Tommy merencanakan sesuatu dan ia tidak tahu.
            Iya, memang surprise. Tapi, kalau berbahaya gimana? pikir Laura cemas.
            Laura menatap langit sore yang sudah kemerahan dari jendela kamarnya selama beberapa menit. Sampai akhirnya, ia segera berlari ke kasur dan mengambil hapenya.
            Terdengar nada sambung beberapa detik, kemudian terdengar suara yang langsung membuatnya lega. “Halo?”
            “Halo, Tom, kamu dimana?” tanya Laura cepat.
            “Just arrived at home, what’s wrong?” tanya Tommy.
            Laura menghembuskan nafas lega. “Nothing….” Hening. “Well, kalau gitu aku istirahat dulu, bye.”
            Laura meletakkan hapenya dan merasa lega untuk sementara.
            Tapi kenapa firasatnya berkata lain?
***
            Tommy sudah siap.
            Motornya sudah dicek berkali-kali, dan tidak ada gangguan yang ia temukan.
            Ia melangkah ke motor, kemudian memacunya dan pergi dari rumahnya.
            Sepanjang perjalanan, dirasakannya jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tapi, Tommy berusaha menenangkan dirinya, dan membayangkan betapa bahagianya wajah Laura jika tau apa yang akan ia dapat nanti.
            Setengah perjalan menuju tempat lomba, Tommy baru sadar kalau itu juga jalan menuju rumah Laura. Kebetulan dia belum memberi tahu Laura apa yang akan ia lakukan hari ini, dan ia tidak bisa menelpon Laura, karena ia sedang kuliah.
            Tommy memberhentikan motornya di depan rumah Laura, kemudian berjalan dan mengetuk pintu rumah.
            Terlihat Mama Laura membukakan pintu dan tersenyum begitu melihat Tommy. “Eh, Tommy… Ada apa? Laura nya lagi kuliah.”
            “Iya Tante, saya cuma mampir, sama mau titip pesan,” kata Tommy sambil tersenyum. “Tell Laura I love her, tell Laura I need her. Tell Laura I may be late, I’ve something to do, that cannot wait.”
            Mama Laura tersenyum. “What a sweet words from you, Tommy. Nanti Tante sampaikan. Terima kasih, ya….”
            “Saya yang makasih, Tante. Yaudah, saya pergi dulu…”
            Tommy pun pergi dari rumah Laura menuju tempat lomba itu.
            25 menit kemudian, Tommy sampai di tempat itu. Ia melihat beberapa peserta lainnya terlihat sudah sangat profesional, namun lagi-lagi Tommy berusaha menenangkan dirinya.
            Tak lama kemudian, lomba dimulai. Tommy kebagian di barisan kedua. Ia melihat sekeliling dan banyak sekali yang menonton. Belum pernah ia segugup ini. Dan dari info yang ia dengar tadi, ia pembalap paling muda disitu.
            Tommy fokus ke jalanan di depannya. Ia melihat aba-aba.
            Merah… Kuning… Hijau.
            Tommy langsung melaju, ia membalap 3 orang sekaligus, dan ia tersenyum dibalik helmnya itu.
            Belokan awal masih sangat lancar; Tommy berada di posisi kedua. Ia lihat motor berwarna hitam didepannya; jarak mereka sangat dekat.
            Tommy menambah kecepatan motornya, dan mereka sekarang sejajar. Tommy menoleh sedikit, dan ia tersenyum, kemudian memacu motornya.
            Ia berada di urutan pertama sekarang, dan tinggal setengah putaran lagi, cincin itu akan berada di genggamannya.
            Tommy melihat spion, musuhnya ada tepat dibelakangnya. Ia menambah kecepatannya, lalu ia menikung.
            Dan tepat pada saat itu, ia merasakan motornya bergoyang, dan ia tidak bisa mengendalikannya. Slip.
            Motor Tommy jatuh dan terseret jauh. Tommy sendiri terlempar dan kepalanya terbentur tumpukan besi yang ditaruh di pinggir jalan.
            Tommy merasakan kesadarannya perlahan-lahan hilang, dan ia lihat banyak sekali orang mengerubuninya.
            “Yaampun, padahal tinggal beberapa meter lagi garis finish…” ucap seorang perempuan yang ikut mengerubuninya.
            Tim Medis yang memang disediakan pun langsung memberikan pertolongan ke Tommy. Mereka melepaskan helm Tommy, dan kepalanya sudah mengeluarkan banyak darah.
            Tommy sendiri merasakan nafasnya sudah mulai putus-putus. Ia berusaha mengingat wajah Laura, yang pasti sudah menunggunya untuk dijemput.
            Tommy merasakan badannya dibawa ke atas tandu, dan dimasukkan ke ambulans. Sebelum masuk ambulans, ia menahan seseorang, entah siapa.
            “Tell Laura I love her, tell Laura I need her,” bisik Tommy. Dadanya sudah benar-benar sesak. Orang itu pun menatapnya prihatin. “Tell Laura not to cry, my love for her will never die…”
            Tommy pun dimasukkan ke dalam ambulans.
            Tim Medis menutup pintu ambulans, lalu bunyi sirine terdengar.
            Sirine adalah hal terakhir yang Tommy dengar.
***
            “Ma, Mama yakin gak tau Tommy pergi kemana?” tanya Laura.
            Mama mengangguk. “Iya, Sayang. Dia cuma nitip pesan kayak gitu tadi ke Mama,” kata Mama. “Coba kamu telpon, deh.”
            Laura menggeleng. “Well, Ma. Aku mau ke kamar dulu,”
            Mama mengangguk, maka Laura pun segera ke kamarnya. Begitu sampai kamar, Laura langsung berdiri di sebelah jendela, menatap halaman rumahnya galau.
            Tadi Laura pulang kuliah lebih cepat dari biasanya, dan karena Laura tau Tommy masih ada jadwal kuliah, maka ia pulang sendiri.
            Dan begitu sampai rumah, Mama menyampaikan pesan yang dititipkan Tommy. Langsung saja Laura cemas tak karuan.
            Laura ingin menangis. Entah kenapa perasaannya tidak enak dari tadi. Dia juga tidak berani menelpon Tommy.
            Laura berjalan ke meja panjangnya, kemudian mengambil bola kaca, mengguncangnya berulang kali. Berusaha menenangkan perasaannya.
            Tiba-tiba terdengar suara ponsel. Laura langsung berlari ke kasurnya, mengambil hapenya tanpa meletakkan bola kaca itu terlebih dahulu.
            Diambilnya, dan dilihatnya. Tommy. Jantung Laura berdegup tak karuan. “Halo? Tommy? Kamu dimana? Kamu baik-baik aja?”
            “Halo, benar ini dengan Laura?” tanya seorang perempuan di seberang sana.
            Laura diam. “Iya, ini siapa?”
            “Ini Laura pacarnya Tommy?” tanya perempuan itu lagi.
            “Iya, ini siapa? Tommy mana?” tanya Laura tak sabaran.
            “Mbak Laura, saya cuma mau bilang, Tommy baru aja meninggal. Dia kecelakaan waktu balapan tadi.”
            “HAH?”
            Tangan Laura gemetar. Bola kaca yang dipegangnya pun meluncur dari tangannya dan jatuh pecah berserakan di lantai kamarnya. Air serta isinya berhamburan kemana-mana.
            Laura menggeleng kuat-kuat. “Mbak, bohong ya? Tommy lagi kuliah, Mbak, gak mungkin dia kecelakaan apalagi sampai meninggal!”
            “Mbak, Tommy ikutan lomba balapan motor hari ini. Saya panitianya, dan namanya terdaftar di lomba ini. Tapi tadi, tinggal sedikit lagi dari garis finish, motor Tommy slip dan dia jatuh. Tommy terlempar dari motor, dan kepalanya kebentur tumpukan besi…”
            Laura terduduk di lantai kamarnya. Air matanya tumpah, dadanya sesak. “Mbak bohong, kan… Tommy mana….” isak Laura.
            “Maaf Mbak, tapi tadi Tommy sudah kami bawa kerumah sakit, tapi, benturannya keras, dan Tommy kekurangan banyak darah. Dia udah gak bisa ditolong lagi, dan akhirnya meninggal baru aja.”
            Laura tertunduk, tangisannya sudah tidak bisa ditahan lagi. Rasanya dunia runtuh tepat di atas kepala Laura.
            “Saya tau nomor Mbak setelah ngecek di hapenya Tommy, dan sebelum dimasukkin ke ambulans tadi, Tommy sempat bilang ‘Tell Laura I love her, tell Laura I need her. Tell Laura not to cry, my love for her will never die…”
            Laura menjerit. “Tommy!!!!”
            “Maaf, Mbak. Tapi ini keluarganya sudah datang, saya harus kasih penjelasan dulu,” kata perempuan itu. “Saya turut berduka cita, ya, Mbak.”
            Telepon pun ditutup.
            Laura menangis. Sakit. Kehilangan. Rapuh. Dia baru aja kehilangan setengah nyawanya, yang dibawa pergi oleh Tommy.
            “Tommy, why do you do this to me?” seru Laura sambil menangis. Air matanya terus berjatuhan satu persatu. “Tommy, why do you leave me?”
            Air mata Laura seakan tidak bisa berhenti. Ia mulai menjerit-jerit di kamarnya, tertunduk lemas, dan terisak.
            Sampai akhirnya pintu kamar terbuka. “Laura? Kamu kenapa?”
            Mama mendatangi Laura yang sudah terduduk lemas di kamarnya. “Laura? Sayang, kamu kenapa?”
            Mama memeluk Laura yang masih terisak keras. “Ma… Tommy, Ma…”
            “Tommy kenapa?” tanya Mama, cemas.
            “Tommy udah pergi….” sahut Laura pelan.
            “Sayang, Tommy kenapa? Pergi kemana?” tanya Mama heran.
            “Tommy…. udah meninggal, Ma. Kecelakaan.”
            Mama pun terdiam. Ia menatap Laura yang masih menangis. Perlahan-lahan, air mata Mama jatuh satu-persatu, lalu ia memeluk Laura lebih erat lagi.
            Laura memeluk Mamanya.
            Tommy tidak mungkin pergi secepat ini.
***
            Sunset, without Tommy.
            Laura terduduk lemas di kamarnya. Berita kematian Tommy yang tadi siang ia dengar masih terngiang di kepalanya.
            Pemakaman Tommy akan dilaksanakan besok pagi. Namun Laura sendiri tidak yakin bakalan sanggup datang atau tidak.
            Laura bersender di lemarinya, merasakan kehilangan yang luar biasa. Ia sudah terbiasa selama 5 tahun ini selalu bersama Tommy.
            Namun sekarang, tiba-tiba Tommy pergi begitu saja. Membuat Laura merasakan dirinya hancur.
            Pluk.
            Laura menoleh. Ada sebuah amplop terjatuh dari meja panjang yang ada didekatnya.
            Laura bergeser, kemudian mengambil amplop itu. Ia mendongak dan melihat ada buket bunga yang diberikan Tommy beberapa hari yang lalu. Ia raih buket bunga itu, dan didekapnya. Perlahan, air matanya jatuh kembali.      
            Dengan tangan bergetar, Laura buka amplop itu. Ada surat didalamnya:
            Dear Laura,
            Well, finally you found this letter, eh?
            Tonight I came to your house, to give this boquet. Aku sengaja gak ngasih tau kamu kalau ada suratnya.
            Kamu pasti nebak-nebak, benda apa yang bakal aku kasih ke kamu, iya kan? Benda yang paling penting menurut aku, karena bisa bikin kamu selamanya jadi milikku.
            Can you guess it, my lovely Laura?
            Well, it’s a ring.
            I cant wait for that day. The day I get on my knee, then say, “Will you marry me?”
            Tunggu aku sampai dapat cincin itu. I will find the way.
            Anyway, I will love you until the last rose dies.
            P. S: smell this boquet, you will not regret it.
            P. S. S: I love you. Now and forever.

            Laura melipat surat Tommy perlahan-lahan. Hatinya terasa diiris-iris lagi dengan kenangan akan Tommy.
            Laura berusaha menghapus air matanya, namun gagal. Semakin ia tahan, semakin deras air matanya.
            Ia tatap buket bunga itu. Ada yang aneh.
            Semua bunga sudah kelihatan layu, kecuali satu bunga, yaitu bunga mawar yang masih berwarna merah. Terlihat segar.
            Laura mengambil bunga itu, dan tersadar bahwa mawar itu palsu.
            I will love you until the last rose dies…
            “Mawar ini palsu, dan gak akan pernah mati…” gumam Laura. “Tommy will never stop loving me.”
            Laura terisak semakin keras, kemudian berusaha mengabaikan fakta yang baru saja ia ketahui. Ia mendekap mawar itu, kemudian menciumnya.
            Dan baunya… Bau parfum Tommy. Bau Tommy yang khas, yang selalu Laura rindukan.
            “Tommy….” isak Laura.
            Laura mengambil hapenya dan menelpon Tommy. Berharap Tommy akan menjawabnya, walaupun mustahil.
            “Hi, I’m Tommy. I’m 28 years old, and I have perfect girlfriend named Laura. I love her, but wait, can you call me later? I will tell you about my Laura. Bye!”
            Voice mail Tommy. Laura tidak pernah mendengar sebelumnya, karena Tommy selalu mengangkat telponnya.
            Laura kehilangan. Tommy, setengah nyawanya, pergi. Jauh, tidak tergapai.
            Laura mendekap mawar dengan bau parfum Tommy, dan mengulang-ulang voicemail Tommy.
            Berharap semua itu akan membawa Tommy kembali kepadanya.
            “Tommy, please don’t go…”
***
            Laura menatap nisan Tommy.
            Sekarang ia sendirian di pemakaman, tanpa siapapun, tanpa Tommy.
            Rasanya air mata Laura tidak akan pernah habis. Ia terus menangis dan menangis, rasanya aneh, tanpa ada Tommy disampingnya.
            “Tommy… Thank you for 5 years. Thank you,” isak Laura. “My life will never be the same without you. You are my life, and you take the best part of me. You are the best part of me.”
            Laura memejamkan matanya, berusaha mengusir sedikit kesedihan. “Tommy, please don’t go…”
            Hening. Hanya terdengar suara tangisan Laura.
            “Aku udah beli cincin yang kamu mau, Tommy. Mama kamu udah ngasitau cincin yang mana,” bisik Laura. “Dan sekarang, aku udah makai cincin itu. Can you see me, Tommy?”
            Hanya terdengar hembusan angin sore, menerpa Laura yang terisak. “Tommy, I love you. My love for you will never die too….
            “Entah gimana caranya buat bisa hidup tanpa kamu, but I know, kamu pengen aku gak nangis, kan? I’m trying, Tommy…”
            Laura menghapus air matanya, walaupun tidak sepenuhnya hilang. Dan ia memaksakan tersenyum untuk pertama kalinya sejak Tommy pergi.
            Laura bangkit, kemudian menatap langit sore.
            “Tommy my sweetheart has gone now, he’s up in heaven somewhere, so little star high above…” kata Laura. Ia mendekap bunga mawar dengan bau parfum Tommy, dan di telinganya terpasangan headset. Disetelnya voicemail dari Tommy.
            “If you see Tommy, tell him all my love…”

You May Also Like

2 komentar

For More