Takkan Terganti

by - 16.46

Hello everyone, good morning! Its raining in Samarinda, a lil bit cold, really (bukan kode)
Sooo, I wanna post my second story. Actually I made this on Monday after school, and finished it at 10pm. Tapiii karena ada problem jadi ga di pos waktu itu.
Oh iya, ini namanya songfiction. Based on Marcell's song: Takkan Terganti
So enjoy and i wait for your comment :)
Telah lama sendiri dalam langkah sepi…
Aku menikmati angin sore yang bertiup lembut, menerbangkan helai-helai rambutku perlahan. Anginnya menyejukkan; membuatku tambah betah berlama-lama duduk disini.
Kutatap matahari sore yang sebentar lagi akan bersembunyi. Matahari itu ingin tidur, begitulah yang kukatakan setiap hari. Menonton matahari ingin tidur dan melihat langit membelainya sudah menjadi kegiatan rutinku setiap hari, selama berbelas-belas tahun.
Karena menatap langit sore, membuatku merasa tidak kesepian. Merasa bebas, dan yang jelas: bahagia.
Kupasang headset di telingaku, kuputar instrument Love Me dari Yiruma. Gak ada yang lebih indah daripada duduk di taman belakang rumahku, menatap langit sore sambil dengerin instrument yang bikin tenang.
Angin bertiup lagi. Membuatku bergidik sebentar.
Aku menghela nafas. Kulirik sebelahku, kosong. Belum pernah ada yang menempati. Karena aku, selama berbelas-belas tahun ini selalu sendiri.
Sebenarnya semua ini bakalan terasa sempurna apabila ada seseorang di sebelahku. Menemaniku. Berbagi tawa, berbagi langit sore, dan berbagi kebahagiaan.
Sayangnya, belum pernah ada yang duduk disini, disebelahku.
Aku tersenyum kecil, berusaha menyemangati diriku sendiri. Ku ambil hapeku, kemudian mengabadikan langit sore, sambil terus mengharapkan hal yang kumpikan sejak kecil.
Menatap langit sore bersama seseorang yang aku cintai
***
“Kylan!”
Aku menoleh. Kulihat Laura mendatangiku. “Hai, kenapa?” tanyaku.
“Temenin aku ke administrasi dong, mau gak? Ada yang perlu diurus nih…” kata Laura, menatapku penuh permohonan.
Kuliah sudah selesai hari ini, udah gak ada mata kuliah lagi, maka aku mengangguk. Kulihat Laura tersenyum senang.
Aku dan Laura berjalan di koridor kampus yang lumayan ramai. Kuperhatikan Laura, sahabatku selama 3 tahun ini, berceloteh dengan riang, seakan-akan tidak ada beban yang ia pendam selama ini. Padahal, mungkin bebannya jauh lebih berat daripada orang lain.
Setahun yang lalu, pacar Laura, Tommy, meninggal karena kecelakaan. Aku tau Tommy memang pacar Laura sejak SMA. Pemuda tampan dengan badan tegap, ramah, baik, namun memang terkadang suka mengambil keputusan tanpa dipikir terlebih dahulu.
Tommy meninggal karena ikut balapan motor. Dia ikut itu karena uang. Dia butuh uang buat beli cincin, to marry Laura. Tapi, saat lomba itu, Tommy kecelakaan. Dan waktu itu, Laura lagi sama aku. Dan dia… shock bukan main.
Aku lega ngeliat Laura yang sekarang. Seenggaknya udah ada tanda-tanda kehidupan di dirinya. Gak kayak setahun yang lalu, kayak mayat hidup. Bener-bener kosong.
Kami berdua sampai di administrasi. Laura langsung mendatangi petugasnya, sedangkan aku menunggu sambil mengeluarkan kertas pemberitahuan yang baru saja kudapat.
Beberapa menit kemudian, Laura sudah berdiri disampingku, kemudian kami berjalan meninggalkan ruang administrasi.
Saat menuruni tangga, aku teringat kertas pemberitahuanku yang tadi kubaca. Wait… wait… Tadi udah aku masukin tas belum ya?
Aku berhenti berjalan, langsung mengecek tasku. Kucari buru-buru, dan ternyata…. Gak ada.
“La, kertas pemberitahuan punyaku hilang…” keluhku, sambil tetap mencari.

Laura menaikkan alisnya. “Duh, Kylan… Masih muda gini kok kamu udah pikun…” Aku memutar bola mataku. “Kamu taruh mana?” tanyanya.
“Tadi di tas…” kataku tanpa mendongak dari tas. “Waktu nunggu kamu-“
OH. I think I know where is it.
Aku segera menaiki tangga lagi menuju ruang administrasi. Aku ingat kalau tadi ada meja ditempat aku berdiri. Bisa-bisanya aku lupa………….
Kulihat meja tadi, dan OH GOD, rasanya lega banget.
Aku berjalan kesana, namun kulihat ada seorang cowok yang memegang sehelai kertas. Kulihat meja itu udah gak ada kertasnya. Oh well, mungkin kertas yang dipegang cowok ini kertas punyaku.
“Umm, sorry, kayaknya kertas yang kamu pegang itu punyaku, deh,” kataku pelan.
Cowok itu langsung mendongak. Dan begitu melihat wajahnya, aku langsung terpaku.
Ingatanku langsung berjalan mundur ke beberapa tahun yang lalu. Ribuan memori datang menyergap, membuatku terpana.
“Kylan?” ucap cowok itu langsung.
Aku masih bengong, namun beberapa detik kemudian sadar. “Ezra?”
Terbayang di benakku, seorang cowok mengenakan seragam putih abu-abu. Tinggi semampai, rambut cepak, dengan mata indah, dan wajah yang tampan. Aktif di organisasi sekolah, nampak pendiam namun sebenarnya humoris.
Ezra, sang Wakil Ketua OSIS ternyata tidak berubah banyak. Masih sama dengan yang dulu, dengan karisma yang meluap-luap.
Ezra tersenyum, wajahnya tampak ceria. “Kylan, long time no see you!” serunya.
Aku tersenyum, masih bingung harus gimana. Masalahnya, di SMA dulu aku cuma pernah ngomong sekali sama dia. What should I do?
“Apa kabar?” tanyanya, sambil mengulurkan tangannya.
Aku menjabat tangannya, merasa canggung. “Baik, kamu gimana? Masih sibuk sama organisasi kayak dulu?”
Ezra tertawa. Entah kenapa Ezra yang sekarang kayaknya jauh lebih ceria daripada yang dulu. “Haha, iya. Ternyata aku memang gak pernah bisa lepas dari yang namanya organisasi.”
Aku mengangguk, masih agak shock bisa ketemu sama Ezra disini. Di kampusku. OH, wait. “Kamu… ngapain disini?” tanyaku.
Ezra nyengir lebar. “Aku tadi mau ketemu sama Adi, masih ingat, gak? Temen SMA kita dulu, yang kocak banget. Mau ada reunian angkatan kita, kamu udah tau belum?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku menggeleng. “Belum…”
“Nah, kebetulan banget kalau begitu. Reuniannya Sabtu ini, kamu datang, ya?” pinta Ezra, lagi-lagi sambil tersenyum.
Belum sempat aku menjawab, kudengar Laura memanggilku. “Kylan, masih lama, ya? Kertasnya udah ketemu belum?”
Aku menoleh, kemudian mengangguk ke Laura. Lalu aku kembali menatap Ezra. “Zra, kayaknya aku duluan, deh. Temen aku udah nungguin, hehehe…”
“Oh, iya. Anyway, don’t forget this Saturday,” kata Ezra, kembali tersenyum manis. Aku cuma tersenyum. “Mmm, itu kertas yang kamu pegang kayaknya punya aku, deh.”
Ezra melihat kertas yang ia pegang, lalu tertawa dan memberikan kertas itu kepadaku. “Ternyata kamu masih sama kayak dulu, ya. Pintar banget.”
Aku tertegun mendengar ucapan Ezra, namun sayangnya Laura sudah keburu menarik tanganku.
Kusempakan diriku menoleh, dan kudapati Ezra tersenyum lebar kepadaku sambil melambaikan tangannya.
Dan sekarang aku tau kenapa cewek-cewek di SMA dulu pada naksir berat sama dia.
Senyumnya bikin meleleh.
***
Kuperhatikan diriku didepan cermin. Dress yang kupakai melekat sempurna di tubuhku yang mungil ini.
Aku berpaling dari cermin, dan berjalan mondar-mandir di kamarku. Dan entah sudah berapa ribu kali aku melirik jam di kamarku yang kini menunjukkan pukul lima sore.
Hari ini hari Sabtu. Dan itu artinya… Reunian SMA. This is making me soooo nervous.
Yang bikin nervous sih bukan karena bakalan ketemu teman-teman lama (well, sebenarnya nervous juga sih. Sedikit) TAPI…. karena Ezra janji bakalan jemputin aku buat ke reunian.
Sejak ketemu Ezra di kampusku Senin kemaren, kami berdua jadi ketemu setiap hari. Well, ini aneh banget. Karena kami berdua sama sekali kayak gak kenal waktu di SMA dulu. Tapi kenapa tiba-tiba jadi dekat begini?
Gak cukup ketemu setiap hari, Ezra juga sering sms aku. Ya, seneng-seneng aja sih dismsin sama Ezra, cuman rasanya ada yang aneh aja gitu.
Kenapa tiba-tiba banget?
Kulihat hapeku bergetar di meja belajar. Segera ku ambil. Laura is calling. “Halo?”
“Hai, Ky… Gimana? Udah dijemput belum sama Ezra si Ganteng nan Charming?”
Aku langsung tertawa begitu mendengar kata-kata Laura. Seiring dengan Ezra yang makin jelas hadir di hidupku, makin gencar juga Laura ngolokin aku sama dia. “Lagi nungguin, nih. Katanya sih dia lagi on the way…”
“CIEEEE!” Tuh kan, apa aku bilang. “Duh, Kylan, Ezra itu udah Menuhin kriteria banget tau gak, sih… Dia care banget kok sama kamu!”
“Sok tau,” ucapku.
“Loh, emang beneran. Kalau aku liat ya, cara dia natap kamu aja udah beda banget. Belum lagi perhatiannya, senyumnya ke kamu, ah segalanya, deh!”
Kurasakan darah mengalir ke pipiku, membuatnya terasa hangat. Mungkin kata-kata Laura bener, tapi aku abaikan. Aku gak mau berharap. Rasanya udah lama banget sejak terakhir kali aku berharap sama yang namanya cowok.
“Kylan, trust me, he likes you!” seru Laura, membuat jantungku berdegup makin gak jelas. “Rasanya udah lama… banget, gak ngomongin ini sama siapapun. Sejak Tommy pergi…”
Hening. Kudengar Laura langsung terdiam begitu mengucap nama Tommy. Bisa kurasakan kesedihan di ujung telepon. “Ra, are you okay?” tanyaku.
Laura terdiam sebentar. Kemudian ia menjawab, namun kudengar ada sedikit isakan kecil, “Yep, I’m fine kok.”
Hening lagi, dan kurasakan kepalaku berdenyut nyeri sekali. I don’t like situation like this. Really.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, dan kulihat Mama  berdiri disana, tersenyum. “Kylan, tuh Ezra udah nunggu didepan.”
Langsung saja perutku rasanya mulas dan jantung berdegup gak karuan. “Oh, iya, Ma. Suruh tunggu, ntar lagi Kylan keluar.”
“Oke…” Mama menutup pintu.
“La, Ezra udah jemput nih,” seruku, panik.
Kudengar Laura memekik antusias. “Seriusan? Waaah, Kylan, selamat berdua-duaan yaaa!” katanya sambil tertawa.
“Ah, apaan sih. Yaudah, aku pergi dulu, ya,” kataku sambil beranjak dari kasur.
“Oke, nanti cerita-cerita ya!” kata Laura bersemangat.
Aku menutup telepon.
Lega dengar Laura udah senang lagi, tapi…
Aku gak pernah senervous ini rasanya.
***
“Kylaaaaan, yaampun kamu cantik banget sekarang!!!!!”
“Kylan, masih mungil aja kamunya hahaha!”
“Aduuuh, Kylan kamu makin imut aja!”
Itu semua kudengar dan kubalas dengan senyuman begitu aku ketemu sama teman-teman SMA. Berkali-kali pelukan sana-sini, teriak-teriak heboh bareng, sampai akhirnya ketemu teman-teman yang entah dulu pernah dekat atau gak.
“Loh, Kylan sama Ezra? Sejak kapan?” tanya Zahra, kaget setengah mati.
Aku segera melirik Ezra, dan menggeleng cepat-cepat. “Gak, kami berdua baru aja kok ketemu kemaren-kemaren,”
Ezra tertawa kecil. “Yup, dan aku ngajakin dia bareng kesini. Seneng banget akhirnya bisa ketemu Kylan.”
Kurasakan jantungku berdegup kencang, namun berusaha kuredam dengan tersenyum ke Zahra yang mengangguk namun nampak tak percaya.
Selanjutnya, aku ketemu sama sahabat-sahabat SMA yang sampai sekarang masih keep in touch, dan teman-teman Ezra (dia ngajak aku jalan kesana-kemari) dan akhirnya kami berdua duduk di meja sambil makan.
Ezra menatapku. “Gimana? Udah ketemu sama sahabat-sahabat kamu yang dulu?”
Aku mengangguk puas sambil tersenyum. “Sebenarnya masih sering ketemu kok sama mereka, tiap hari juga nge chat gitu. Cuma rasanya lebih greget bareng teman-teman SMA lainnya…”
Ezra tersenyum. “Dulu aku ingat banget, kamu sering banget ketawa-ketawa sama sahabat-sahabat kamu di lorong kelas. Kayaknya bahagia banget.”
Aku menaikkan alisku. “Kami emang selalu ketawa-ketawa gila kok, kan kami jomblo dulu wahahaha,” kataku. “Well, aku juga ingat banget dulu. Kalau kami lagi pada ketawa-ketawa, kamu pasti lagi sibuk ngurusin OSIS.”
Ezra langsung tertawa. Dan aku baru sadar kalau tawanya terlalu adorable. “Haha, iya. Dulu emang sibuk banget…”
Dan yang aku tau selanjutnya, ternyata ngobrol sama Ezra itu enak banget! Mau ngomong apa aja dia nyambung, dan enaknya dia mau dengerin, dan ngerespon. Bener-bener makin kece si Ezra ini.
Kemudian, ada band teman-teman SMA pada nampil di panggung kecil di café ini, lalu teman-teman OSIS Ezra pada datang dan ngobrol sebentar, namun Ezra tetap jadiin aku pusat perhatiannya. Yang utama.
Kulirik jamku, sudah jam 9 malam. Kulihat sekeliling, café masih ramai sama temen-temen SMA. Sementara kepalaku makin berdenyut nyeri; penyakit bulanan yang biasa aku alamin. Satu-satunya cara buat ngilangin ini ya minum obat terus tidur, atau gak ketawa ngakak banget, baru bisa hilang deh tuh sakit kepala.
Kulihat Ezra masih mengobrol dengan teman-temannya, sementara aku sudah pengen pulang. Duhh, gimana nih?
Aku memegang kepalaku perlahan, berusaha menghilangkan rasa sakitnya walaupun aku mustahil. Sampai akhirnya kurasakan ada yang memegang tanganku. Aku mendongak. Ezra.
“Kylan, are you okay?” tanya Ezra, cemas begitu melihat wajahku.
“Mmm, aku rada sakit kepala gitu, sih. Biasa, penyakit bulanan,” kataku, sambil tersenyum kecil.
Ezra segera beranjak dari kursinya dan menarikku berdiri perlahan. Ia membuka jaketnya yang tebal, lalu memakaikannya kepadaku. “Nih, pake. Kita pulang sekarang.”
Ezra menggandeng tanganku yang mungil dan dingin dengan tangannya yang besar dan hangat. Aku dan Ezra berpamitan ke teman-teman yang lain, kemudian berjalan ke mobilnya.
Di mobil, aku cuma bisa diam, nyender, dan natapin lampu malam yang berkelap-kelip. Ezra nyetel instrument di mobilnya, yang bikin aku tenang, sekaligus… kepo. Jarang banget cowok yang aku temuin suka instrument.
“Kylan, kamu yakin sakit kepala biasa?”
“Iya, Zra. Aku tiap bulan sakit kepala gini, kok. Diminumin obat atau ketawa ngakak banget, baru bisa sembuh…”
“Hah? Ketawa ngakak banget? Maksudnya?”
Aku terkekeh. “Hehehe, iya… Dulu, waktu SMP, di sekolah aku sakit kepala gitu, dan pulang-pulang bukannya minum obat malah baca bukunya Raditya Dika yang Marmut Merah Jambu. Eh, pas ketawa-ketawa ngakak gitu, malah langsung sembuh!”
Ezra tertawa kecil. Entah kenapa tawanya langsung menyesap di otakku. “Oke, oke. Karena di mobil ini gak ada obat kayak yang biasa kamu minum, I’ll try to make you laugh…”
Aku menoleh ke Ezra, yang ternyata sekarang lagi nyoba stand up (if you know what I mean with stand up, bukan berdiri, tapi kayak raditya dika ituloh mehehehehe)
Aku ketawa, ngakak banget. Aku kenal Ezra orang yang serius dan karismatik, tapi Ezra yang ada didepanku sekarang humoris banget. This is sooooo LOL.
Tak terasa, kami berdua sudah sampai dirumahku. Ezra membukakan pintu mobil untukku (such a gentleman) kemudian memapahku masuk kerumah, katanya sih takut aku kenapa-kenapa.
Di depan pintu, setelah berpamitan sama Papa Mama, Ezra berdiri di depanku. “Thank you for today ya, Kylan.”
“Me too. Thank you udah mau antar jemput, dan sorry harus pulang lebih cepat,” kataku, menyesal.
Ezra menggeleng sambil tersenyum. “Its okay, kamu jauh lebih penting.” Hening. Aku terpana. “Well, aku pulang dulu ya. See ya!”
Aku melambaikan tanganku ke Ezra yang berjalan ke mobilnya sambil terus menatapku sesekali. Untungnya ini sudah malam, dan Ezra gak mungkin liat semburat merah yang muncul di pipi aku sekarang.
“Oh iya, besok aku kerumah kamu, boleh, kan?” tanya Ezra sebelum ia masuk ke mobil.
“Hmmm, boleh.”
Ezra tertawa senang. “Okay, see ya tomorrow!”
Ezra masuk ke mobilnya, melambai kepadaku, kemudian berlalu dari hadapan.
Kupegang jaket Ezra, dan tercium aroma khasnya. Ezra banget. Bikin sakit kepalaku hilang seketika.
Membayangkan besok bertemu Ezra, membuatku senyum-senyum sendiri.
Jelas-jelas Kylan lagi jatuh cinta ini namanya.
***
“Kylaaaan, tuh Ezra datang!”
“Iya, Maaaa, biar Kylan bukain…”
Aku berlari dari ruang tengah ke ruang tamu. Ku baiki rambutku sebentar, memasang senyum terbaik, kemudian membukakan pintu untuk Ezra yang tersenyum lebar didepanku.
“Hai,” sapaku, gugup.
“Hai,” Ezra tertawa kecil.
Lalu Ezra masuk, dan aku berjalan di sampingnya. “Lagi gak sibuk organisasi kampus nih?” tanyaku.
“Hahaha, gak kok,” kata Ezra. “Mama kamu mana? Kok sepi?”
“Mama lagi di dapur, bikin kue,” kataku.
“Aku mau bantuin Mama kamu bikin kue ahh, boleh, kan?” tanyanya, sambil menatap mataku lekat-lekat. Dan Ezra senyum. Manis. Banget. AKKKK.
“Boleh, yaudah yuk ke dapur!”
Begitu di dapur, Ezra langsung mendatangi Mama, tanpa arsa canggung, dan ngebantu tulus banget. Aku speechless ngeliatnya. Gak nyangka Ezra bisa bikin kue juga, dan MAU bantuin Mama di dapur.
Setengah jam berlalu, dan aku, Ezra, sama Mama asik banget ketawa-ketiwi bikin kue di dapur. Kulihat Ezra sama Mama nyambung… banget, dan gak tau kenapa itu bikin aku ngerasa seneng.
Tiba-tiba, terdengar bunyi bel. “Wait ya, aku bukain pintu dulu.”
Aku berlari ke ruang tamu, kemudian membukakan pintu dan terkejut melihat siapa yang ada di depanku.
“Halo, Kylan. Lagi sibuk gak?” tanya Ryan, teman sekelasku di kampus.
Supaya apa dia tiba-tiba datang kesini?
“Mmm, gak juga sih, kenapa?”
“Aku mau main kerumah kamu, boleh, kan?” tanyanya sambil tersenyum.
“Oh, boleh kok. Tapi aku lagi bikin kue sama Mama, are you okay with it?” tanyaku, ragu-ragu. Ryan si jago basket emang mau berurusan sama dapur?
Ryan tersenyum lebar. “Wah kebetulan. Sini biar aku bantuin kamu sama Mama kamu bikin kue!”
Lalu Ryan masuk dan berjalan ke dapur. Aku mengikutinya di belakang.
Begitu sampai di dapur, Ezra sama Mama masih asyik bikin kue, dan Ezra menoleh begitu melihat Ryan datang ke dapur. Wajahnya langsung berubah, bingung.
“Waah, ada siapa nih, Ky?” tanya Mama.
“Kenalin Ma, ini Ryan. Temen kuliah Kylan,” kataku pelan.
“Halo, Tante…” kata Ryan, sok akrab. “Lagi bikin kue, ya? Ryan mau bantuin boleh, kan?”
Mama yang emang dasarnya baik gak bisa nolak. “Oh, iya, boleh dong. Ayok sini Ryan…”
Aku berjalan ke sebelah Ezra, kemudian kudengar ia berbisik di telingaku. “Kylan, itu siapa? Pacar kamu?”
Aku segera menggeleng. “Dia temen aku doang kok, aku aja heran kenapa dia tiba-tiba datang kesini.”
Ryan melihatku berbisik-bisik dengan Ezra, maka ia segera mendatangi kami berdua. “Siapa, Ky?”
“Oh, ini teman SMA aku, namanya Ezra. Kenalan deh kalian berdua,” kataku, kaku.
Ezra dan Ryan berjabat tangan, dan kulihat mereka masing-masing kayak pengen matahin tangan satu sama lain. Namun untungnya, Mama menyelamatkan.
“Ezra, ini kue yang kamu bikin udah matang. Ini udah Tante potongin, sana makan di taman sama Kylan, ya…” Mama menyerahkan dua piring kue ke aku dan Ezra, yang dibarengi dengan tatapan heran Ryan.
“Nah, Ryan, kamu bikin kue yang satunya lagi yuk sama Tante sekarang…” ajak Mama. Ryan pun gak berkutik lagi, sementara aku sama Ezra udah nahan ketawa.
Mama mungkin bisa baik sama semua teman aku, tapi Mama tau mana yang tulus mana yang gak.
Aku dan Ezra berjalan ke taman belakang, lalu duduk di rerumputan dan menghadap langit sore. Menghadap sunset, ditemani angin sore yang berhembus lembut.
“Kamu suka nongkrong disini, ya?” tanya Ezra sambil menatapku.
Aku mengangguk. “Kok tau?”
“Iyalah, tuh disitu ada karpet plastik, ada bantal sama selimutnya juga lagi,” kata Ezra. Aku langsung nyengir. “Kamu suka sunset?”
“Bukan suka, tapi cinta. Ngeliat langit sore setiap hari disini itu wajib buat aku,” kataku, sambil menatap langit sore.
“Hmm, Kylan?” panggil Ezra.
“Ya?”
“Aku boleh cerita dikit gak?” tanyanya.
“Sure, just tell me.”
Ezra berdehem-dehem, membuatku tertawa kecil. “Dulu, waktu SMA, orang mungkin ngeliat aku cuma sibuk sama organisasi dan ekskul, atau mungkin juga pelajaran. Kayak gak ada waktu buat yang namanya hati, atau cinta…
“Tapi sebenarnya, aku juga ngerasain itu semua kok. Ngerasain yang rasanya deg-degan waktu dia lewat, senang walaupun cuma ngeliat dia dari jauh, terpesona waktu liat dia senyum sama ketawa-ketawa sama sahabatnya…”
Kurasakan badanku menegang.
“Tapi, aku gak bisa ngelakuin apa-apa buat dapatin dia. Padahal makin hari, aku makin suka sama dia. Sampai akhirnya aku sadar kalau aku sayang sama dia,” kata Ezra. “Dan waktu kelulusan, aku juga gak berani ngungkapin perasaan aku. Karena aku pikir, aku bukan siapa-siapa buat dia. Gak pantes disandingin sama dia…
“Dan kuliah, kuliah, kuliah. Aku sibuk organisasi dan ini itu, tapi rupanya dia juga gak bisa hilang dari kepala aku. Ternyata, emang cuma dia yang bisa bikin aku jadi gak karuan.”
Angin sore berhembus kencang, membuatku bergidik. Kudengarkan cerita Ezra dengan seksama.
“Sampai akhirnya, aku ketemu dia tanpa sengaja. Aku tau dia kuliah di kampus itu, cuma gak nyangka bakalan ketemu. Ternyata dia masih sama cantiknya sama dulu, lebih cantik, tapi tetap dia yang dulu…” Ezra diam sejenak. “Dia masih sama pintarnya sama dulu, gak ada yang berubah.
“Tapi aku ingat janji aku dulu. Aku gak akan nyatain perasaan ini sampai aku bisa sukses, dan pantas disandingin sama dia. Tapi, begitu ketemu sama dia untuk yang kedua kalinya, aku buang janji itu. Sekarang memang mungkin aku gak pantas buat dia, tapi toh aku bakal buktiin kalau aku pantas buat bisa sama dia.”
Ezra tertawa kecil. “Dia single sih, cuma ternyata yang suka dia banyak. Tuh, salah satunya lagi masak kue di dapur sama Mamanya.”
Kurasakan jantungku berdebar keras hingga bisa kudengar detaknya dengan jelas.
Aku menatap Ezra. “Terus, apa cewek itu udah tau kalau kamu sayang dia?” tanyaku.
Ezra menggeleng. “Belum…” kata Ezra. “Tapi sebentar lagi.”
Aku menahan nafas. “Ezra, kenapa kamu cerita ini ke aku?”
Hening.
Ezra kemudian menatapku lekat-lekat. “Karena aku juga pengen punya arti yang sama kayak langit sore buat kamu.”
Aku ternganga.
“Kylan, kamu mungkin gak percaya ini. Tapi aku sayang sama kamu, dari dulu. Sejak kita masuk SMA. Sejak kita ngomong untuk yang pertama kalinya. Aku tau kamu orangnya, bukan yang lain.”
Ini. Pasti. Bohong.
“Aku nyesal banget gak pernah bisa ungkapin ini semua ke kamu, tapi… this is the right time. Kylan, aku cinta kamu. Dari dulu, sampai sekarang. Rasa ini gak pernah hilang dan gak pernah berubah.”
Kurasa jantungku berhenti berdetak.
“Zra, you must be joking, right?” tanyaku, tertawa histeris.
Ezra menggeleng.  Ia menunduk, menatap tangan kami yang bersebalahan. Ia menautkan kelingkingnya ke kelingkingku. Mengaitnya erat. “Aku serius.”
Kutatap kelingkingku. “Tapi aku siapa? Bukan siapa-siapa. Kamu? Jelas siapa-siapa. Zra, kita beda banget.”
Ezra menggeleng. “Cinta gak mandang status. Mau famous, cupu,  kaya, miskin, kalau udah yang namanya cinta, mau gimana?” ucap Ezra. “Kylan, seriously. I love you.”
Aku menutup mataku, dan kurasakan hembusan nafas Ezra di telingaku. “I love you just the way you are. Be mine, please?”
Mungkin dulu aku pernah suka sama Ezra, tapi aku tau diri. Aku bukan siapa-siapa, dan Ezra banyak yang naksir.
Tapi ternyata, he loves me since in high school.
“Ezra, aku sayang kamu.”
Yang kutau selanjutnya, Ezra memelukku erat sekali, ia tertawa keras, lepas. “And yes, I’m officialy yours now,” bisikku sambil tersenyum.
Ezra tersenyum lebar, kemudian memelukku kian erat.
Kurasa mimpiku sudah terwujud: menatap sunset bersama orang yang kucintai.
***
1 tahun kemudian...
“Dingin gak?”
“Gak kok…”
Aku merapat ke Ezra, memeluknya erat-erat. Berusaha menghalau rasa dingin. Padahal angin sore bertiup lembut.
Sudah satu tahun lebih, kuhabiskan hari-hariku bersama Ezra. Ezra bikin semuanya jadi terlihat lebih berwarna, lebih indah, dan lebih bahagia.
Ezra selalu tau caranya bikin aku bahagia, bikin aku ketawa, bikin aku senyum, dan yang paling penting, dia gak pernah ninggalin aku. He always stays with me.
Dan sore ini, kami berdua duduk di tempat nongkrong kami, taman belakang rumahku. Kami berdua menyender di bawah pohon, duduk di atas karpet plastik, berselimut, dan aku memeluk Ezra erat-erat, sedangkan Ezra merangkulku. Rasanya hangat.
Selalu seperti ini.
Sepi, hening, belum ada yang membuka percakapan. Namun, hening bersama Ezra rasanya gak aneh. Rasanya damai.
Kemudian aku melirik kotak yang sudah sangat kukenal. Kotak harapan-begitu aku dan Ezra menamainya. Isinya gulungan-gulungan kertas yang kami buat setahun lalu, entah berapa banyak kami buat. Dan di kertas itu, isinya macam-macam. Ada pertanyaan, ada permintaan, ada truth or dare juga, dan rasanya kalau gak salah juga ada kertas kosong. Entah buat apa. Dan setiap hari, setiap sore, kami selalu mengambil satu per harinya. Bergantian.
Dan hari ini giliranku.
Tanganku membuka kotak itu, kuambil satu. Kubuka. Permintaan.
Pas sekali. Ada satu hal yang harus aku minta dari Ezra, namun kurasakan Ezra mengelus kepalaku. “Kylan, ada yang mau aku ceritain ke kamu.”
Aku mengurungkan niat untuk menceritakan permintaanku. “Apa?”
“Tadi pagi, dosen pembimbing aku baru aja ngasih tau sesuatu. Dan penting banget,” kata Ezra. Ia mengelus pipiku lembut. “Beliau bilang, aku orang yang tepat disaat yang tepat buat kesempatan ini.”
Firasatku gak enak. “Apaan, Zra? Jangan bikin kepo, deh.”
Ezra memegang wajahku, menatap mataku dalam-dalam. “Aku dapat beasiswa ke Amerika, Ky.”
Kurasakan darah di wajahku langsung surut. Tanganku dingin. Namun hanya setengah detik, aku sudah bisa menguasai diri.
“WHAT? ARE YOU SERIOUS, EZRA?” kataku, heboh. Kupegang tangannya. “Ya ampuunnn, congrats, Sayang!!”
Aku segera memeluk Ezra erat, dan kudengar tawanya. “Kamu orang pertama yang tau,” kata Ezra. Ia melepaskan pelukanku, dan kembali menatapku dengan serius. “Jadi, semua tergantung kamu. Kalau kamu bolehin aku pergi, aku pergi. Kalau gak boleh, aku bakalan stay disini, dan gak bakal nyesal atau apapun. Because to be with you, is the most important thing ever.”
“Ezra, listen. Ini impian kamu. Cita-cita kamu. Gak mungkin aku ngalangin kamu. Take this chance, I’m okay. I’m happy for you.”
Ezra memandangku tak yakin. “Kamu yakin? Kita bakal kepisah dua tahun, Ky.”
Aku segera membuka kotak harapan, lalu mengambil kertas yang sudah kubuka tadi. Tadi kertasnya sempat kugulung lagi, maka kubuka perlahan, dan kutunjukkan ke Ezra. “Permintaan.”
“Kalau kamu minta aku stay, I will stay. Just say it to me, please.”
“Ezra, aku minta kamu ambil beasiswa ini. Kamu bakalan belajar banyak disana, berorganisasi lebih hebat lagi, dapat teman baru, pengalaman baru. Dan kamu bakalan sukses disana,” ucapku sambil memegang wajah Ezra. “Dan please, jangan balik kesini cuma karena aku. Stay there, masih ada Skype kok. I know you know how much I love you.”
Ezra langsung memelukku erat, erat sekali. “Kylan, thank you so much. Aku bakalan fokus disana, dan sedetik pun aku gak bakalan lupain kamu. I promise.”
Ezra lalu mencium keningku lembut, dan aku menutup mataku. Berusaha menahan perasaanku yang sebenarnya.
Kupeluk Ezra erat-erat. Kulupakan permintaanku di awal tadi. Ezra bahagia tentu lebih penting.
Entah mengapa, tapi feelingku bilang ini terakhir kalinya aku ngerasa bahagia dipeluk Ezra disini.
Kurasakan air mataku jatuh perlahan.
***
Di Airport…
“Ezra, kopernya sudah siap, kan?”
“Sudah, Ma…”
Ezra selesai mengecek semua kopernya. Kemudian ia memeluk semua kelaurganya yang datang untuk mengantarnya hari ini.
Kulihat jam tanganku. Flightnya tinggal 10 menit lagi.
Ezra sengaja menyisakan perpisahan denganku sebagai yang terakhir. Ia memeluk sepupunya, kemudian beralih kepadaku.
Ia berdiri tepat di hadapanku. Ezra memegang kedua wajahku yang menunduk, kemudian mengangkatnya. “Kylan… I swear I will make 2 years feel like 2 hour,”
Aku tertawa. Kamu pergi satu jam aja rasanya udah kayak setahun, Zra…
“Sedetik pun perasaan aku gak bakal berubah ke kamu.”
Aku mengangguk. Selamanya aku bakalan sayang kamu, Zra…
“Kalau sakit kepala kamu, buruan Skype atau sms aku. Biar aku telpon kamu, bikin kamu ketawa. Supaya kamu gak usah makan obat sakit kepala terus.”
Aku menatapnya. Sejak tau kamu bakal ke Amerika, selama itu juga aku sakit kepala terus. Obat manapun gak ada yang bisa nyembuhin sakitnya, Zra…
“Kylan, aku sayang kamu.” Ezra menarikku ke pelukannya. Kupeluk Ezra seerat mungkin. I don’t wanna let him go. “I love you, always.”
Aku mencium pipinya. I love you forever, Zra…
Ezra mengelus kepalaku, kemudian mencium keningku lama. Kututup mataku, berusaha menahan tangis.
10 menit sudah berlalu, maka Ezra pun melepaskan pelukannya, dan menarik koper-kopernya. Pergi dari hadapanku.
Aku terpaku, berdiri di antara kerumunan orang. Menatap punggung Ezra yang menjauh, dan rasanya….
Kehilangan.
Tak lama kemudian, sebuah pesawat sudah menghiasi langit pagi ini.
Goodbye, Ezra. I will wait for you, as long as I live.
Tak pernah kuduga bahwa akhirnya tiada dirimu disisiku…
***
2 tahun kemudian…
Ezra’s side
Aku mengetuk pintu rumah yang sudah kurindukan selama dua tahun ini. Pintu rumahnya tidak ada yang berubah. Masih sama seperti pertama kali aku mengetuknya. Kokoh berwarna putih.
Kylan… Aku pulang!
Begitu sampai Jakarta, aku langsung ke rumah Kylan. Bukan kerumahku. Tanpa mengabari siapapun, supaya surprise.
Pintu terbuka, dan langsung kulihat Mama Kylan terkejut melihatku.
“Tante, I’m home!”
Mama Kylan langsung memelukku erat, dan kubalas pelukannya. Rasanya seperti memeluk Mama sendiri. Kudengar Mama Kylan terisak-isak.
“Tante, kenapa nangis? Apa Ezra makin ganteng habis pulang dari Amerika?” candaku.
Mama Kylan tertawa sebentar, kemudian menatapku. Matanya sendu. Belum sempat aku bertanya, Papa Kylan tau-tau sudah menghambur memelukku juga.
“Om! Ezra kangen, Om!”
“Ya, ya, ya… Om tau, Ezra! Kamu makin berkarisma ya rupanya!”
Aku tertawa. Kemudian menyadari ada yang janggal. Senyumku hilang.
Kylan… Kamu dimana? I’m home!
“Tante, Kylan mana?” tanyaku.
“Oh, Kylan ada di kamar. Kamu langsung aja kesana, ya.”
Aku masuk ke dalam rumah bersama Mama Papa Kylan. “Eamg Kylan lagi gak kuliah?”
Papa Kylan menggeleng terlalu cepat. There must be something wrong… “Gak, lagi libur kuliahnya, Zra… Lagian ini juga udah sore, gak mungkin lah masih kuliah…”
Aku mengangguk. Kylan… Akhirnya, setelah dua tahun. Sebentar lagi aku bakal liat kamu lagi langsung. Bukan Skype. Bukan telponan. Tapi kamu, real.
Di depan pintu kamar Kylan. Dan lagi-lagi gak ada yang berubah, mungkin cuma catnya yang mengelupas di beberapa bagian. Sisanya sama; foto kami berdua terpajang di pintu kamar.
“Langsung masuk aja, Zra. Mungkin Kylan lagi nonton tv,” kata Mama Kylan. “Tante sama Om ke dapur dulu ya, nyiapin makanan buat kamu.”
“Oh iya, Tante, Om, gak usah repot-repot,” kataku basa-basi.
Sisa aku sendirian di depan pintu. Kurasakan jantungku berdebar tak karuan. Gugup.
Kubuka pintu kamarnya.
Aku kira aku akan melihat Kylan lagi menonton tv, lalu akan terkejut melihatku. Namun…
Kamarnya kosong.
Aku terkejut.
Kubawa kakiku berjalan masuk ke kamar Kylan. Dan ternyata, kamarnya berubah. Kuperhatikan sekeliling.
Lemari bajunya terisi baju lengan panjang semua, dan banyak yang kosong gak karuan. Di sudut kamar ada tas besar berisi baju-baju. Koleksi bonekanya di meja dekat tv terlihat berdebu, seakan gak pernah disentuh.
Kylan… Ada apa ini?
Aku menatap semuanya, seisi kamar. Sampai akhirnya mataku menemukan tiang infus di sebelah kasur Kylan.
Aku menahan nafas.
Kylan sayang… Kamu kenapa?
Lalu, hanya ada satu yang tidak berubah, setelah ku jelajahi. Meja belajarnya. Fotoku dan fotonya tetap bersih, bebas dari debu, seakan dibersihkan setiap jam. Semua barang-barang yang kukasih ke Kylan, tertata rapi di meja belajarnya.
Lalu, aku melihat kotak harapan. Kubuka, dan ada 3 gulungan kertas didalamnya. Di gulungan kertas itu, tertera tanggal.
Kulihat yang paling lama. Itu waktu aku ngasih tau Kylan kalau aku bakal ke Amerika.
Kertas pertanyaan: What do you feel right now?
Kubaca tulisan tangan Kylan:
I feel so sick right now. I just cant hold it anymore. Ezra baru aja bilang dia mau ke Amerika ke aku. Tapi, aku gak mungkin ngehalangin dia untuk mimpinya. I let him go…
Kurasakan keringat dingin menetes di dahiku.
I need him so much. Padahal sore tadi aku baru mau cerita, something important. Dan kertas permintaan yang aku punya, pengen aku bilang ke dia, that I need him. Just don’t go away.
But I let him go, for his dreams.
Gulungan kertas itu membuatku terkejut setengah mati. Segera kubuka gulungan kertas kedua. 1 tahun setelah aku pergi ke Amerika.
Kertas permintaan:
Aku cuma pengen, Ezra ada disini sekarang. Aku rasa aku udah gak sanggup lagi nahan sakit ini sendirian. Dan aku pengen, Ezra could understand about my situation.
Ezra, sakit kepala aku udah gak bisa disembuhin pake apapun lagi. Pakai obat, pakai suntik, pakai terapi. Semua nihil.
Aku butuh kamu buat nyembuhin aku. Tapi aku tau kamu lagi ujian, kan?
The day you told me about you will go to Amerika, was the day that I wanted to tell you that I had…
Tulisan tangan Kylan berhenti, belum selesai. Dan kulihat ada setitik darah yang seperti berusaha dihapus dari kertas.
Kylan… What happened with you?
Gulungan kertas ketiga. Ditulis minggu lalu. Kubuka dengan tangan gemetaran.
Kertas itu berisi semua tulisan Kylan:
Ezra, I love you. Aku tau, selamanya rasa ini gak akan bisa berubah, atau hilang, gimanapun keadaanku.
Ezra, aku udah gak sama lagi kayak dulu. Mungkin kamu bakal menjauh, but trust me, I will always love you.
Ezra, aku udah gak bisa nahan rasa sakit ini sendirian.
Ezra, cepat pulang. Aku pengen bisa meluk kamu sebelum aku juga ikutan pergi dan gak akan kembali.
Ezra, Kylan loves you.
Tanpa kusadari, air mataku menetes perlahan. Satu persatu.
Gak… gak… Gak mungkin Kylan udah pergi. Gak mungkin!
Aku keluar kamar, melihat sekeliling, mencari Kylan. Di ruang tengah, gak ada.
Maka aku berlari ke ruang makan. Dan sepi. Namun mataku sempat menangkap berbagai obat-obatan terpajang disana, membuatku semakin takut.
Di dapur, gak ada. Kamar mandi, gak ada.
Hanya sisa satu tempat lagi.
Aku berlari ke taman belakang rumah, dan kulihat seorang perempuan mungil berdiri menghadap langit sore. Matahari menyinarinya, membuatnya berkilau.
Aku tau itu Kylan, Kylan-ku.
Aku segera berlari menghampirinya, lalu memeluknya erat dari belakang. Setelah dua tahun, akhirnya, I can hug her again.
Kylan masih memunggungiku. “Kylan, I’m home… Don’t you miss me?”
Kylan diam. Kueratkan pelukanku. “Kylan, please talk to me….”
Lalu, Kylan membalikkan badannya perlahan, dan balas memelukku erat. “Ezra…” panggilnya sambil menangis.
“I’m here, baby. I will never leave you anymore. I stay with you forever,” bisikku sambil mengecup keningnya.
***
Kylan’s Side
Kupeluk Ezra. Erat. Sangat erat.
Kucari kehangatan yang telah hilang selama 2 tahun ini. Akhirnya, kehangatan itu datang kepadaku lagi.
Tubuhku entah mengapa semakin dingin, sementara badan Ezra tetap hangat. Padahal, angin sore hanya berhembus pelan.
“Kylan, kamu kenapa? Aku udah baca semua gulungan kertas itu, dan aku nyesel banget udah ninggalin kamu.”
Aku menggeleng cepat. “Kamu gak akan nyesel. Kamu udah bikin aku bangga kok. Sekarang, kamu udah ngerasa pantas kan sandingan sama aku?” candaku sambil tertawa.
Ezra ikut tertawa, namun tetap saja tak menghapus bayang cemas di wajahnya. “Seriously, Kylan. Kamu kenapa?”
Aku tersenyum. “Aku sakit. Ada penggumpalan di otak aku. That’s why, aku sering sakit kepala. Dan dulu aku juga sering lupa,” kataku pelan. “Di hari kamu ngasih tau aku tentang beasiswa itu, aku cek ke dokter. Dan ternyata… emang ada yang aneh di kepalaku.
“Dokter bilang, aku bisa ngelupain semuanya lama-lama. Semua memori bakal kehapus gitu aja. Tapi, itu kalau aku ikut terapinya. Awalnya aku ikut, tapi lama-kelamaan, aku mulai lupa hal-hal kecil yang ada disekitar aku. Dan aku takut, aku bakal lupain kamu. Padahal kamu belum pulang.”
Aku terdiam, kemudian tertawa kecil. Kutatap Ezra. Ia menutup matanya, dan mengalir bulir-bulir air mata. “Jangan nangis, Zra. Udah jalannya…”
“Kylan, aku gak tau harus ngomong apa, aku… aku…”
Aku memeluk Ezra yang terisak. Mau tak mau, aku ikut menangis. “Zra, please. Setelah 2 tahun gak ketemu, dan kita malah nangis-nangisan?”
Ezra terdiam. Ia lalu menatapku lekat-lekat. “Janji sama aku. Kamu bakal sembuh, aku gak bakal ninggalin kamu lagi. Dan kamu, jangan ninggalin aku.”
“Aku gak bisa janjiin sesuatu yang gak bisa aku lakuin,” bisikku pelan. “Dokter bilang, sebentar lagi-“
“STOP IT!” Ezra terlihat frustasi. Tiba-tiba, ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.
Sesuatu dengan kotak…
Oh please, no… Ezra!
***
Ezra’s Side
Kukeluarkan kotak yang berisi cincin. Sudah kusiapkan dari dua bulang yang lalu.
Aku menarik Kylan yang sudah berkaca-kaca untuk berdiri. “Kylan, ini bukti aku gak pernah main-main kalau udah urusan hati. Aku beli cincin ini, hasil dari kerja part time sambil kuliah,” kataku, tersenyum. “Sebelum semuanya terlambat. Aku gak mau menyesal untuk yang kedua kalinya.”
Melihat Kylan menangis keras rasanya membuatku ingin terjun bebas dari langit. Rasanya sakit.
Aku berlutut di depan Kylan, kemudian membuka kotak cincin itu, dan memegang tangannya. Kutatap wajahnya sambil tersenyum, walaupun mataku sendiri sudah berkaca-kaca. “Kylan, will you marry me?”
Kylan masih menangis, namun toh ia tersenyum. Angin sore meniupkan rambutnya, dan matahari berkilauan di wajahnya yang bersimbah air mata.
“Yes, I do, Ezra.”
Tangan Kylan yang dingin sedari tadi itupun tak membuat kebahagiaanku hilang. Kupeluk Kylan, kucium keningnya. “Thank you, Kylan.”
“Aku sayang kamu, Ezra…” bisik Kylan lemah di telingaku.
Badan Kylan semakin dingin. Namun, kuabaikan pikiran negatif itu. Kupeluk ia semakin erat. “Kylan… aku juga sayang kamu.”
“Thank you… for…  everything, Zra,” bisik Kylan lirih.
Kutahan nafasku. Rasanya diriku akan meledak sebentar lagi. “Kylan, please… Are you okay?”
Kylan masih sempat tertawa. “Gak pernah sebaik ini rasanya.”
Langit semakin merah, dan matahari sebentar lagi akan terbenam.
“Ezra, aku ikut matahari tidur ya. Kamu tunggu aku besok terbit bareng matahari, dan besoknya lagi, besoknya lagi… Aku bakal hilang di malam hari, tapi aku bakal terbit lagi. Setiap hari,” ucap Kylan. Kudengar nafasnya semakin berat.
Tanpa bisa kutahan, air mataku keluar begitu saja. “Kylan, I love you.”
“I love you more.”
Kupeluk Kylan erat-erat, kubenamkan wajahku di rambutnya yang wangi seperti biasanya.
Badan Kylan dingin, dingin sekali. Tubuhnya terasa berat di pelukku.
Dan, deru nafasnya tidak terdengar lagi.
Kylan pergi bersamaan dengan terbenamnya matahari.
***
Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Kylan, selamanya kamu akan tetap disini, di hati aku.
Semua takkan mampu mengubahku hanyalah kau yang ada direlungku
Kylan, gak akan ada yang pernah berubah. Selamanya perasaan ini gak akan pernah hilang.
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kylan, karena cuma kamu yang bisa bikin aku ngerasa utuh. Dan merasa dicintai.
Kau bukan hanya sekedar indah
Kylan, semua tentang kamu, gak akan mungkin aku lupain gitu aja.
Kau tak akan terganti
Kylan, gak ada yang bisa gantiin kamu.
Selamanya, cuma kamu.

You May Also Like

0 komentar

For More