Till I Meet You Again (Short Story)

by - 21.37

HALO. Nah mumpung lagi banyak dapat ide, akhirnya selesai juga nih satu short story. Semoga suka yaa, happy reading xoxo


            Awan kelabu menyelimuti langit pagi ini. Tak ada tanda-tanda matahari akan muncul. Malah, sepertinya awan kelabu itu akan menurunkan hujan kembali seperti hari-hari kemarin. Membuat seluruh kota terlihat suram dan dingin.
            Terlihat seorang gadis berdiri seorang diri di jembatan, merapatkan jaketnya yang tebal. Jari-jari tangannya terlihat pucat dan berkali-kali ia menggosokan kedua tangannya, berharap mendapatkan sedikit kehangatan. Sudah sepuluh menit ia berdiri di jembatan itu namun yang ia tunggu tak kunjung datang.
            Menunggu sudah salah satu kegiatan Raisa yang tak bisa ia hindari setiap harinya. Dan pagi ini, seperti biasa ia akan tetap menunggu laki-laki itu untuk datang kepadanya, tak peduli berapa lama.
            Selewat dua puluh menit, langit sudah tak segelap tadi. Raisa masih tetap setia berdiri menatap sungai lebar di hadapannya sampai akhirnya ia melihat sesosok laki-laki yang berjalan dari kejauhan ke arahnya. Tanpa bisa ditahan, senyum Raisa mengembang lebar. Kakinya yang ramping pun perlahan-lahan menghampiri laki-laki itu.
            Mereka berdua berhadapan. Tinggi Raisa hanya sedada laki-laki itu. Gadis itu mendongak menatap wajah favoritnya sepanjang masa, Arjuna. “Juna! Kenapa kau lama sekali?”
            Arjuna menatap Raisa datar. Tak sedikitpun merasa bersalah. “Aku sudah bilang, tak usah menungguku. Tapi kau tetap saja melakukannya. Apa harus kuberitahu setiap hari?”
            Raisa pura-pura cemberut. “Ah, kau ini. Cuaca sudah cukup dingin, apa kau juga perlu bersikap dingin seperti itu?”
            Arjuna memutar bola matanya. Ia tak suka berdebat dengan gadis di hadapannya ini. Ia melirik jam tangannya. Setengah jam lagi sekolah akan dimulai, dan mereka berdua masih berada di jembatan ini.
            “… lagipula, kita berdua pasangan. Masa kau tega membiarkanku pergi sendiri ke sekolah? Kalau ada apa-apa denganku bagaimana? Kalau ada yang menculikku, apa kau mau bertanggung jawab?”
            “Tak akan ada yang ingin menculik gadis yang tak bisa membedakan mana garam mana gula, kau tahu. Lebih baik kita pergi, ada Mr. Brown di kelas pertama kita!” ucap Arjuna.           
            Dengan sigap Raisa mengaitkan tangannya dengan tangan Arjuna. Laki-laki itu hanya membeku sesaat sebelum akhirnya bersikap normal kembali. Keduanya berjalan menyusuri jembatan.
            Walaupun harus menunggu lama setiap hari, itu tak pernah menjadi masalah bagi Raisa. Di negeri asing yang sudah ia tinggali selama tiga tahun ini, Arjuna benar-benar bagaikan hujan di tengah kekeringan baginya. Meninggalkan Indonesia dan harus bertolak ke London untuk melanjutkan studinya, meninggalkan keluarga tercinta bagi Raisa sangatlah berat. Ia gadis manja yang lugu dan terlalu cepat tertarik dengan sesuatu. Dengan bijaksana, orang tuanya lalu mengirimkan Arjuna untuknya. Arjuna sendiri memang berniat untuk belajar di London, namun begitu bertemu dengan Raisa untuk pertama kalinya, ia merasa ragu apakah niatnya itu bisa berjalan dengan mulus.
            Raisa benar-benar gadis manja yang terlalu polos dan lugu. Arjuna heran, kenapa orang tua gadis itu berani mengirim Raisa seorang diri ke London, kota asing yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dan atas permintaan Mamanya pula, Arjuna menyanggupi permintaan untuk menjaga gadis itu. Mereka selalu mengambil kelas yang sama dan rumah mereka pun berdekatan.
            Namun, seiring berjalannya waktu, kegigihan Raisa membawa usaha. Sejak pertama bertemu dengan Arjuna di London, gadis itu sudah menaruh hati kepadanya. Arjuna tahu semua usaha Raisa untuk mendekatinya, namun ia berpura-pura buta. Ia metutup mata, hati, dan telinganya. Tetapi, hati tetaplah hati. Perlahan-lahan, hatinya membuka untuk Raisa. Hingga di suatu sore yang hangat itu, Arjuna menerima Raisa di hidupnya sepenuhnya. Tak pernah ia lihat mata Raisa berbinar seperti itu.
            Tahun demi tahun pun berlalu. Tak terasa, ini tahun terakhir mereka sebagai murid di sekolah menengah di London. Banyak yang berubah di antara mereka berdua. Walaupun mereka berdua tetap bersama, tetap saja tidak sama dengan tahun pertama mereka dahulu.
            Arjuna melirik Raisa yang berjalan riang di sampingnya. Gadis itu masih memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tak ada yang harus dikhawatirkan dari gadis itu.
            Namun perasaannyalah, yang harus dikhawatirkan dan dipertanyakan.
***
            Mata Raisa tak henti-henti mencari Arjuna di taman sekolah yang luas itu. Lelaki itu sudah berjanji akan menemuinya tepat setelah bel istirahat berbunyi. Di tahun terakhir ini, ada beberapa kelas yang tak mereka ambil bersama-sama. Untuk hari ini, Raisa baru bisa bertemu dengan Arjuna di kelas pertama mereka tadi pagi.
            Raisa membanting album yang ia bawa ke bangku taman. Ia duduk dan menyilangkan kakinya sambil merapatkan jaketnya. Apa tak cukup lama ia menunggu Arjuna tadi pagi? Kini ia harus kembali menunggu. Penantian yang membosankan.          
            Hey, Raisa! What are you doing here?”
            Raisa menoleh dan melihat Kimberly, temannya di kelas Sejarah berdiri di dekatnya. “Oh, uh, you know just want to refresh my mind,” ucap Raisa sambil menunjukkan novel yang ia bawa.
            Oh, I see. But, it’s too cold here. Do you want to go inside with me? Harry just bought some coffee for us,” kata Kimberly riang.
            Raisa tak pernah bisa menolak kopi. Itu adalah minuman kesukaannya sepanjang masa. Namun, sejak mengenal Arjuna, kopi pun bisa dilewatkannya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya ia menolak tawaran minum kopi dari temannya. “Well, I’d love to but sorry… I’m waiting for Arjuna. Do you see him?”
            “Arjuna? Wait… I think I saw him in library.” Raut wajah Raisa langsung berubah. “Are you sure you don’t want to come with me?”
            No, thank you. See ya soon.”
            Seperginya Kimberly, Raisa terduduk lemas di bangku taman. Di perpustakaan lagi? batin Raisa. Apa yang ia lakukan disana?
            Terlalu sibuk dengan pikirannya, tanpa sadar bel telah berbunyi. Jam terakhir akan segera dimulai. Kesal sendiri, Raisa buru-buru mengemasi barang-barangnya. Tetapi, tiba-tiba ada tangan yang membantunya mengemas.
            “Juna?” kata Raisa. Arjuna mengacuhkannya dan tetap memberesi barang-barang. “Did you forget your promise?
            Arjuna menghela napas. “Kau tahu, Mr. Smith tak suka dengan murid yang terlambat. Dan kau hanya punya… tiga menit lagi.”
            Raisa merampas barang-barangnya dari Arjuna namun yang terjadi adalah semua barang itu jatuh dan berhamburan. “Arjuna, kalau kau memang tak bisa menemuiku, kenapa tak bilang saja? Apa kau pikir itu lucu kedinginan di sini sendirian?” Kesal sendiri, Raisa buru-buru pergi dari hadapan Arjuna.
            Ia marah dengan Arjuna. Tapi ia lebih marah lagi dengan dirinya sendiri karena harus marah kepada laki-laki yang amat dicintainya itu.
***
            Arjuna menimang-nimang album di hadapannya.
            Sore ini ia bebas dari segala tugas sekolah. Namun, terpaksa ia berdiam diri di rumah karena cuaca di luar sangatlah dingin. Padahal, ingin sekali ia berbelanja barang-barang yang sangat ia butuhkan.
            Ditatapnya album mini itu. Dibukanya perlahan. Di lembar pertama ada foto mereka berdua saat liburan musim panas. Wajah Raisa memerah karena kepanasan dan ia ingat gadis itu menghilangkan topi yang baru saja dibelinya. Benar-benar ceroboh. Saat mereka hendak pulang, Arjuna melihat topi itu tersangkut di pohon dan dibawanya pulang tanpa sepengetahuan Raisa. Sampai sekarang, topi itu disimpannya rapi di dalam lemari baju.
            Lembar kedua. Foto mereka saat di rumah Raisa, berupaya setengah mati untuk membuat kue. Raisa ingin memberikan kue itu untuk tetangganya yang berulang tahun, dan Arjuna berulang kali menyarankan agar membeli saja, namun gadis itu bersikeras. Sudah bisa diprediksi, kue itu gagal dibuat oleh Raisa. Masih segar diingatannya tampang kusut gadis itu.
            “Makanya, aku sudah bilang kan. Lebih baik kita membelinya saja. Lihat apa yang kau lakukan Kau membuang-buang bahan dan kau menghancurkan dapurmu sendiri,” ucap Arjuna.
            Wajah Raisa mengerut. Ia memotong-motong stroberi dengan ganas dan tanpa sengaja ia melukai jarinya. Keduanya terkejut. “Dan sekarang, kau ingin memotong jarimu?” bentak Arjuna.
            Air mata Raisa menetes sekali… dua kali. Ia melepaskan celemeknya dan melemparnya begitu saja. Arjuna melihat Raisa memasuki kamarnya dan terdengar isakan pelan.
            Arjuna tersenyum. Ia ingat apa selanjutnya. Dengan sabar ia membersihkan dapur yang seperti terkena ledakan bom. Perlu satu jam penuh untuk membuat dapur itu kembali seperti semula. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke toko kue langganannya dan membeli sebuah kue kesukaan Raisa. Lalu ia memberikan kue ke tetangga Raisa yang berulang tahun, dan mengatakan bahwa kue itu Raisa yang buat.
            Hari sudah larut saat ia kembali ke rumah Raisa. Hanya kegelapan yang menyelimuti. Arjuna menyalakan lampu dan dilihatnya Raisa tertidur pulas di kamarnya dengan jari yang masih berdarah.
            Diam-diam Arjuna membersihkan luka gadis itu dan menyelimutinya. Keesokan harinya, Raisa menerima ucapan terima kasih dari tetangganya dan ia terus bertanya kepada Arjuna apakah ia berhasil membuat kue itu sendiri.
            “Aku pikir aku gagal membuatnya dan kurasa aku benar-benar gagal, tapi… Matthew bilang kue buatanku enak! Arjuna, apakah aku hanya bermimpi?”
            “Mungkin saja kau berhasil membuat kue itu namun kau lupa,” jawab Arjuna santai. Setelah itu, Raisa terus tersenyum sepanjang hari.
            Terdengar suara pintu dibuka. Arjuna buru-buru menyimpan album itu di bawah kasurnya dan segera membaca buku pelajaran. Dilihatnya Raisa menghampirinya. Ia mengulurkan tangannya, meminta maaf.
            “Apa?” tanya Arjuna tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
            Raisa menghela napas dan duduk di sofa di sebelah Arjuna. Gadis itu menyenderkan kepalanya. “Juna, sepertinya aku berlebihan tadi siang di sekolah. Mungkin saja kau sibuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Lagipula, aku seharusnya tidak menunggu di taman saat cuaca dingin seperti itu. Aku kan sudah berjanji padamu tidak akan sakit.”
            Arjuna tetap membaca bukunya walaupun pikirannya sudah tak fokus lagi. Ia merasakan kehangatan dari gadis di sebelahnya. “Besok, jangan telat lagi. Kau tahu, sangat mengerikan menunggu di jembatan seorang diri…”
            “Mengapa kau menungguku? Aku kan sudah bilang, berangkatlah sendiri.”
            “Tidak mau. Waktu yang kita punya di sekolah sangat sebentar, apa kau ingin menguranginya lagi? Tidak bisa!” bentak Raisa dengan wajah cemberut.
            “Baiklah. Namun, apa kau harus menunggu di jembatan itu? Mengapa tak menungguku di depan rumah saja?”
            Raisa menatap Arjuna. “Bisakah kau datang pagi saja besok? Sudahlah. Aku lelah. Mau pulang, banyak sekali tugas dari Mr. Smith.”
            Raisa beranjak dari sofa. “Jangan lupa dengan makan malammu,” ucap Raisa sebelum akhirnya ia hilang dari pandangan.
            Begitu gadis itu pergi, kehangatan di kamarnya hilang begitu saja. Arjuna merasa gelisah. Ia buru-buru menengok ke jendela namun gadis itu menghilang dengan begitu cepat. Ia menghembuskan napas berat.
            Mendengar penuturan Raisa, membuat Arjuna serasa diiris hatinya. Sudah jelas bahwa itu adalah kesalahan Arjuna, berjanji namun tak menepati. Namun, gadis itu meminta maaf. Seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Hampir dari semua kesalahan yang dibuat Arjuna, Raisalah yang akan menyalahkan dirinya sendiri.
            Arjuna merasa muak dengan dirinya sendiri. Harus berapa lama lagi ia bersembunyi di balik topengnya?
            Ia mundur dari jendela dan tatapannya jatuh pada kalender di mejanya. Beberapa hari lagi menuju tanggal yang sudah ia lingkari. Hari jadinya dengan Raisa.
            Melihat tanggal itu, Arjuna buru-buru mengambil mantelnya dan bergegas dari kamarnya.
            Perlahan-lahan, ia berusaha membuang topengnya itu. Membuang rasa gengsinya dan menunjukkan apa perasaannya yang sebenarnya.
***
            Raisa setengah berlari di koridor yang lengang dan sepi itu. Dari semua kelas yang ia lewati, semuanya penuh terisi murid dan guru. Tentu saja. Kelas sudah dimulai lima belas menit yang lalu namun Raisa tak peduli. Pikirannya hanya satu sekarang: ruang musik.
            Setelah menaiki beberapa puluh anak tangga, akhirnya sampai juga Raisa di depan ruang musik. Kakinya berjingkat-jingkat agar tak menimbulkan keributan. Ia mengintip melalui jendela dan dilihatnya di panggung mini ruang musik Arjuna sedang memainkan biola. Memimpin anak-anak lainnya dengan alat musik mereka masing-masing.
            Tanpa pikir panjang, Raisa segera masuk ke dalam ruangan itu dan memanggil Arjuna lantang. Ia menuruni tangga-tangga dan kursi-kursi penonton menuju ke panggung. “Arjuna!”
            Raisa berhasil: Arjuna mendongak dan menatapnya terkejut. Namun laki-laki itu dengan sigap kembali fokus dengan permainan biolanya. Namun, Raisa tak menyerah. Semakin dekat ia dengan panggung, semakin nyaring pula ia memanggil Arjuna. Hingga akhirnya ia sampai di depan panggung dan tersenyum. “Arjuna! Arjuna! Kau mendengarku, kan?”
            Anak-anak lain memperhatikan Raisa yang terus memanggil Arjuna tanpa henti. Mereka berhenti memainkan alat musik mereka sampai akhirnya sisa Arjuna seorang diri memainkan nada-nada di biolanya.
            “Arjuna!” seru Raisa serak.
            Arjuna menutup matanya lalu menaruh biolanya begitu saja. Ia terlihat berbicara sebentar dengan teman-temannya lalu menuruni panggung. Raisa tersenyum melihat Arjuna yang berdiri di depannya.
            “Arjuna! Kenapa kau meninggalkanku tadi pagi? Kau berangkat terlalu cepat, kau tidak ingin berangkat bersamaku?” tanya Raisa.
            “Apa yang kau lakukan di sini?” bentak Arjuna.
            “Kau tahu, jembatan tadi pagi sangat licin. Aku terpeleset dua kali hingga rok ku robek sedikit.” Raisa menunjukan sobekan kecil di ujung roknya. “Tapi, syukurlah kau ada di sini. Kukira kau—“
            “RAISA! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI? APA MENURUTMU SIKAPMU INI BENAR?” teriak Arjuna. Ruangan langsung sepi seketika. Semua mata tertuju pada mereka berdua.
            Raisa terkesiap. Pintu terbuka dan semuanya langsung menoleh. “Miss Raisa, oh, finally I found you! What are you doing? Do you cut class again?
            Mrs. Blackwood menghampiri Raisa dan Arjuna yang membeku. “So, can you explain me, what are you doing here? You supposed to be in my class, aren’t you?
            Raisa merasakan lidahnya kelu. Ia masih terkejut sehabis dibentak Arjuna dan sekarang Mrs. Blackwood menemukannya disini. Habislah ia hari ini. “Uh, I went to toilet but then I get lost…
            Mr. Arjuna, she’s your girlfriend, right?”
            Arjuna mengangguk sekali dengan kaku. Ia mengunci mulutnya. “Ah, I think you can tell her to stay in class, not here. You know, she’s really bad at Math. I wonder why you want to have a girlfriend like her.
            Raisa terus menunduk. Ini pertama kalinya ia ketahuan membolos untuk menonton Arjuna yang sedang latihan di ruang musik. Biasanya, ia menonton Arjuna diam-diam dari balik jendela dan Mrs. Blackwood tak pernah tahu itu. Namun, inilah hari sialnya, yang akhirnya datang juga.
            Okay, Miss Raisa, I wait you in my office after my class finished. Mr. Arjuna, make sure that she will not get lost again and come to my office.”
            Mrs. Blackwood berlalu dan meninggalkan ruangan dalam keheningan yang semakin menyesakkan. “Okay, guys. I think today is enough. See ya tomorrow,” ucap Arjuna pelan.
            Anak-anak itu dengan enggan meninggalkan posisi mereka dan keluar dari ruang musik. Tersisa Raisa dan Arjuna berdua.
            “Apa kau membolos lagi?” tanya Arjuna dingin.
            “Iya, karena… tunggu dulu. Apa kau tahu aku sering membolos kelas matematika untuk menontonmu di sini?” tanya Raisa dengan mata berbinar-binar.
            “Kau bangga kau membolos?” bentak Arjuna. “Raisa, aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu! Kau sudah dewasa, seharusnya kau tahu mana yang baik dan tidak. Apa kau pikir tindakanmu ini hebat? Tidak sama sekali. Kau membuat dirimu dipermalukan, dan aku! Kau membuatku kesal!”
            Hening. “Mengapa kau mendatangiku? Bukankah aku sudah pernah bilang jangan pernah menontonku di ruang musik? Apa kau lupa? Mengapa kau tak pernah mengerti?”
            Raisa tak mampu mengatakan apa-apa. Semua kata-kata yang ia siapkan hanyut begitu saja. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agak tak tumpah. Rasanya menyakitkan mendengar Arjuna memarahinya seperti ini.
            “Lebih baik kau pergi ke kantor Mrs. Blackwood sekarang. Jangan sampai kau kabur. Kau tahu jalan ke sana, kan? Apa perlu kau ku antar seperti anak kecil?” tanya Arjuna tanpa ampun.
            Raisa melihat Arjuna berlalu dari hadapannya dan menaiki panggung. Ia memberesi biolanya dan dari atas panggung, Raisa melihat Arjuna benar-benar marah padanya. “Raisa, kau menyuruhku datang pagi? Aku bertanya-tanya apa definisi pagi untukmu. Dengar, jangan pernah menungguku lagi. Kau tak bisa datang pagi.”
            Seusai berkata begitu, Arjuna pun pergi meninggalkannya. Perlahan, pertahanan Raisa pun hancur begitu saja. Ia terduduk dan air mata langsung mengalir deras di wajahnya.
            Pagi tadi ia terlambat karena menyiapkan bekal untuk Arjuna. Biasanya, ia selalu datang pagi dan menunggu di jembatan. Raisa yakin Arjuna akan berangkat bersamanya pagi ini, sebab itulah ia ingin Arjuna memakan bekal buatannya. Tetapi, ia hanya terlambat sedikit dan Arjuna sudah pergi.
            Ini bukan pertama kalinya Raisa menangis karena Arjuna. Ia selalu berharap tangisannya itu akan menjadi yang terakhir. Setiap kali ia mulai menangisi laki-laki itu, ia selalu berharap untuk menjadi tangisan terakhir. Namun, lagi-lagi harapannya sirna.
            Kembali Raisa merelakan air matanya jatuh untuk Arjuna.
***
             Perkelahian di sekolah tadi membuat Arjuna sedikit tak fokus dengan pekerjaannya. Sampai malam ini, gadis itu belum ada menghubunginya. Terakhir kali melihatnya di ruang musik, Arjuna yakin gadis itu pasti menangis. Seharian itu sulit sekali menemukan Raisa. Dan sekarang, Arjuna panik bukan main.
            Berkali-kali ia mengetik pesan untuk Raisa, namun berulang kali ia hapus. Ia tak punya nyali. Padahal ia sangat merana saat ini.
            Memutuskan untuk melupakannya sejenak, Arjuna berusaha mengumpulkan konsentrasinya. Kertas-kertas berhamburan di mejanya. Berlembar-lembar foto bertumpuk. Lem, penggaris, pensil, pita-pita kecil, dan berbagai pernak-pernik lainnya tersebar di atas meja.
            Besok adalah hari jadi Arjuna dengan Raisa. Dan ia sudah memutuskan besok adalah waktu yang tepat untuk semuanya. Ia akan menjelaskan semuanya kepada gadis itu. Betapa ia tak ingin melihat Raisa kedinginan dan sendirian di jembatan untuk menunggunya, betapa kecewanya Arjuna dengan dirinya sendiri saat Raisa menontonnya secara diam-diam saat ia memainkan biolanya. Bidang yang selama ini ia sembunyikan dan hanya Raisa yang tahu. Tapi, permainannya belum bagus. Ia ingin Raisa melihatnya hanya jika ia sudah sangat handal dengan biolanya itu.
            Arjuna menghela napas. Betapa ia ingin membela gadis itu dari kekejaman kata-kata Mrs. Blackwook. Betapa ia ingin menghapus air mata yang menggenangi mata indah gadis itu. Jika harus merasakan sakit yang luar biasa agar gadis itu tak terluka, Arjuna pasti akan menerimanya.
            Arjuna mencintai Raisa. Terlalu dalam hingga terpaksa ia topengi dirinya dengan sikap dinginnya selama ini. Arjuna tahu diri. Ia hanya laki-laki biasa dengan sejuta mimpi yang berusaha ia wujudkan. Melihat Raisa yang begitu bersemangat dengan hidupnya, membuat Arjuna malu. Ia merasa tak pantas memiliki Raisa yang begitu menawan dan berharga.
            Namun besok, ia akan melepas dan membuang topengnya jauh-jauh. Mungkin belum semua mimpi Arjuna terwujud, namun ia akan membiarkan Raisa membantunya. Ia tahu gadis itu senang membantu. Tak ada lagi Arjuna yang bersikap dingin. Yang ada hanyalah Arjuna yang menyayangi Raisa sepenuh hati.
            Scrapbook setengah jadi buatan Arjuna ini disiapkannya spesial hanya untuk Raisa. Gadis itu pasti akan tersenyum bahagia. Senyum Raisa benar-benar tak ada tandingannya bagi Arjuna. Senyum tulus nan polos layaknya anak kecil yang selalu bisa menggetarkan hati Arjuna. Sepertinya ia harus tak tidur sampai besok untuk menyelesaikan scrapbook ini. Namun, Arjuna akan mengerjakannya dengan sepenuh hati. Tak peduli besok ada ujian akhir.
            Pukul sepuluh malam, Arjuna memutuskan untuk rehat sejenak. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Raisa. Sebuah ‘hey’ singkat yang selalu ia kirimkan. Ini akan menjadi ‘hey’ terakhir baginya. Besok, ia akan selalu menelpon gadis itu.
            Ponselnya bergetar dan Arjuna buru-buru mengambilnya. Bukan pesan, melainkan sebuah panggilan. Papa. “Halo, Pa. Ada apa?”
            “Oh, Arjuna. Kau belum tidur?”
            “Belum. Ada apa?”
            “Sebentar lagi, kau akan lulus dari SMA. Papa ingin kau melanjutkan kuliahmu di sini saja. Bagaimana?”
            Arjuna terdiam. “Maksud Papa?”
            “Mama tak ingin berjauhan denganmu, Arjuna. Mama ingin kau pulang, dan berkumpul lagi di sini. Ia ingin kau jadi dokter di Indonesia saja.”
            “T-t-tapi, Pa. Raisa? Dia tetap di sini. Dia akan kuliah di sini,” ucap Arjuna gugup. “Papa tahu, kan, aku harus menjaga Raisa? Papanya sendiri yang memintaku. Papa kan berteman dengan Papa Raisa, apa Papa tak tahu bahwa aku harus menjaganya?”
            Terdengar tawa Papa. “Jangan takut. Ini Papa Raisa khusus akan mengatakannya padamu.”
            Jantung Arjuna berdegup kencang mendengar suara Papa Raisa. “Halo? Ah, Arjuna. Masalah Raisa, tak usah dipikirkan. Kami sekeluarga memutuskan untuk menetap di London dan menemani Raisa. Kau bisa pulang ke Indonesia. Surat-suratmu sedang diproses.”
            Arjuna meletakkan ponselnya. Tepat disaat ia ingin berubah menjadi orang yang jauh lebih baik bagi Raisa, kini ia harus kembali. Kembali ke dunia nyatanya.
            Ponselnya bergetar. Buru-buru Arjuna mengambilnya. Pesan singkat dari Raisa, sumber kegamangannya saat ini.
            Ada apa? Kau belum tidur, Juna? Besok ujian, jangan terlalu paksa dirimu untuk belajar! Kau kan sudah sepintar profesor!
            Arjuna tersenyum namun segera hilang begitu ingat perkataan Papanya tadi. Ia tak bisa membantah; tak ada haknya untuk itu.
            Dari awal, Raisa memang terasa seperti mimpi ketimbang kenyataan. Ia terasa sangat jauh dijangkau, namun Tuhan mengijinkannya untuk merengkuh Raisa. Tapi, kesempatan itu tak digunakannya benar-benar hanya karena pemikirannya yang sekarang terasa sangat bodoh itu.
            Raisa akan tetap hidup di dalam dunia mimpinya. Mungkin sekarang waktunya bagi Arjuna terbangun dan menjalani kenyataan.
            Untuk menjadi dokter. Bukan di London, tetapi di Indonesia. Tak bersama Raisa, namun dengan cita-citanya menjadi pemain biola profesional yang harus dikuburnya dalam-dalam.
***
            Raisa duduk di bangku taman yang lumayan sepi. Ia memegang bukunya tanpa ada niat untuk membacanya sama sekali. Hari ini sangat gelap, sepertinya akan turun hujan deras. Namun, Raisa tetap bergeming di tempatnya.
            Hari ini adalah hari jadinya dengan Arjuna. Seharusnya ia senang, berbahagia dan bersikap menyenangkan. Namun yang ada ia malah menyendiri dan terus bersedih. Ia tak pernah mengharapkan hadiah apapun dari Arjuna di tahun jadi mereka tahun lalu. Kehadiran laki-laki itu jauh lebih berharga daripada kado apapun.
            Di tahun ini, Raisa tak menyiapkan apapun untuk Arjuna. Ia merasa bersalah, namun entah mengapa ia berpikir bahwa perkelahian kemarin membuatnya merasa terpukul mundur. Arjuna melangkah semakin jauh saja dari dirinya. Laki-laki itu seperti terbang bebas ke atas tanpa bisa ditahan. Raisa mana mampu menyainginya.
            Apa mungkin ia harus melepaskan Arjuna? Lelaki itu jarang sekali terlihat bahagia apabila dengannya. Berbeda ketika ia bermain biola. Wajahnya terlihat bersinar penuh kebahagiaan.
            “Hey…”
            Raisa menoleh dan mendapati Arjuna berdiri di depannya. Cepat-cepat ia berusaha tersenyum. “Hey, kau sudah makan siang?”
            Arjuna mengangguk dan duduk di sebelahnya. “Raisa, sebenarnya ada yang ingin kukatakan.”
            “Benarkah? Sepertinya aku juga,” ucap Raisa.
            “Oh, begitu? Kau bicara duluan.”
            Raisa menarik napas. “Selama ini, aku tahu kita sering bertengkar. Tapi kurasa… pertengkaran kita yang kemarin seakan menjelaskan semuanya…”
            “Apa maksudmu?” potong Arjuna langsung.
            Raisa menunduk. Ia harus mengatakannya. Ia harus melepaskan Arjuna demi kebaikan laki-laki itu sendiri. “Juna… mengapa kau tak pernah terlihat bahagia ketika bersamaku? Apa aku begitu menyebalkan bagimu? Apa kau benar-benar tak bisa melihatku sekali saja?”
            Tundukan Raisa semakin dalam. Luka di hatinya terbuka lagi dan ia mulai tak mampu menahan tangisnya. Seakan ingin menemani, hujan pun perlahan turun. Namun keduanya tetap diam tak bergerak sesenti pun. “Aku tak peduli apabila kau tak bisa sehangat laki-laki lain, aku tak peduli kau tak pernah memperlakukanku dengan romantis, aku tak peduli apabila kau sangan dingin, karena aku percaya, kau menyayangiku dengan caramu sendiri. Namun… selama ini, hanya akulah yang mengatakan aku peduli kepadamu. Hanya aku seorang diri yang mengatakan aku mencintaimu.
            “Kurasa, aku tak bisa berjuang seorang diri lagi. Bukan karena aku tak mau, tapi aku tak bisa melihatmu selalu kesal jika berada di dekatku. Maka, lepaskanlah aku. Untuk apa kau bertahan di hubungan yang diperjuangkan sebelah pihak?”
            Keduanya sudah basah kuyup. Raisa mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap Arjuna. “Juna, terima kasih. Setidaknya kau selalu mengingatkanku untuk tidak ceroboh. Kau benar, aku tak bisa datang pagi. Aku tak bisa menyamakan langkahku dengan langkahmu.”
            Arjuna menatap Raisa. Tatapannya tak bisa dijelaskan. Ia berdiri dari bangku taman, lalu melemparkan sebuah buku ke sebelah Raisa. “Kau membuatku benar-benar terlihat seperti laki-laki tak berperasaan. Kau tak tahu yang sebenarnya. Kau tak tahu.”
            Raisa mengawasi Arjuna yang berjalan menjauh. Pandangannya samar-samar tertutupi genangan air matanya. Hatinya hancur lebur. Belum pernah Raisa semerana ini.
            Ia kira ia akan kuat merelakan Arjuna pergi begitu saja. Ternyata tak mudah merelakan seseorang yang sangat dicintai untuk pergi begitu saja.
***
            Arjuna berbaring di kamarnya menatap kosong ke langit-langit. Kegelapan menyelimuti kamarnya dan seisi rumah. Ia tak punya kekuatan bahkan untuk sekedar menyalakan lampu. Ia benar-benar merasa tak berdaya.
            Raisa terluka karenanya. Tapi, ia juga merasakan luka. Walaupun tak sesakit Raisa, namun tetap saja. Membuat Arjuna merana.
            Tepat di saat ia ingin mengubah segalanya, Raisa menyerah terlebih dahulu. Gadis manapun pasti tak ada yang sanggup menghadapi sikap dinginnya selama ini. Raisa terlalu kuat untuk seorang gadis, menahan sakitnya sendirian.
            Arjuna tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus kembali ke Indonesia dengan perasaan seperti ini? Mengingat Indonesia, tanggal kepulangannya sudah ditentukan. Ujian pun sudah berakhir; tak ada lagi yang bisa menahan Arjuna untuk tetap di London.
            Mata Arjuna memanas dan tanpa bisa ia tahan air matanya menetes. Ia benar-benar menyesal. Namun, ternyata ia terlambat.
            Tiba-tiba pintu kamar menjeblak terbuka dan lampu menyala. Arjuna segera bangkit dari kasurnya dan menyipitkan mata. Didapatinya Raisa berdiri di ambang pintu. Wajah gadis itu pucat dan matanya sembab.
            “Raisa?”
            Raisa perlahan-lahan melaangkah menuju Arjuna. Tanpa diduga, gadis itu memeluk Arjuna yang seketika membeku. Bahu gadis itu berguncang karena tangisannya. Tangan Arjuna pun tergerak membalas pelukan Raisa. Ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
            “Kenapa… kenapa kita berdua menyakiti diri sendiri? Kau dengan topengmu dan aku dengan pikiran burukku. Kenapa, Juna? Kenapa?”
            Arjuna yakin Raisa telah membaca scrapbook yang ia buat susah payah. Semua ia jelaskan di situ. “Sekarang kau tahu kan, kenapa aku tak ingin kau menungguku di jembatan?”
            Raisa terisak. “Aku mencintai Arjuna, dengan segala kekurangannya. Dengan sikap dinginnya. Aku mencintamu sepenuhnya, tak peduli kau sudah menjadi siapa ataupun belum.”
            Arjuna memejamkan matanya dan memeluk Raisa lebih erat lagi. “Maafkan aku. Kumohon, maafkan aku.”
            Raisa menggeleng. “Aku tak ingin mendengarnya. Anggap saja tak ada yang salah. Biarkan kita ulang semuanya dari awal.”
            Arjuna mengangguk ragu.  “Mulai besok, mari kita lakukan semuanya bersama-sama. Sampai selamanya. Semua bersama-sama.”
            Raisa melepaskan pelukannya. Ia tersenyum sembari menangis. “Ya, semuanya bersama-sama. Sampai kau harus kembali lagi ke Indonesia, mari kita lakukan apa yang kita bisa.”
            “Kau… sudah tahu?”
            “Baru saja Papa meneleponku.”
            “Kau bisa menerimanya?” tanya Arjuna tak percaya. Gadis itu terlihat tenang.
            “Tentu saja tidak. Tapi aku tak mau membuang waktuku. Biarkan saja hari itu datang, aku hanya berpikir untuk sekarang.”
            Arjuna segera menarik Raisa ke pelukannya. Tak ingin sedetikpun ia lepaskan.
***
            Seminggu penuh ini digunakan Arjuna dan Raisa untuk mengelilingi kota London. Mereka berdua bersenang-senang dan tak memperdulikan apa yang menanti mereka esok hari. Tak pernah keduanya terlihat bahagia seperti sekarang ini.
            Sehari sebelum kepulangan Arjuna ke Indonesia, keduanya memutuskan untuk mengakhiri hari mereka dengan duduk di pantai sambil melihat matahari terbenam. Arjuna merangkul Raisa erat.
            “Apa kau akan merindukanku di sana?” tanya Raisa.
            Arjuna tertawa. “Kurasa tidak.”
            “Apa kau mau kupukul?” tanya Raisa lagi sambil tertawa.
            “Belum pergi saja rasanya aku sudah merindukanmu,” bisik Arjuna. Ia mengusap kepala Raisa penuh sayang. “Apa kau mau menungguku?”
            “Tentu saja. Bukankah selama ini aku selalu menunggumu?”
            “Kali ini berbeda. Ada jarak yang menghalangi kita, belum lagi perbedaan waktu. Apa kau yakin?”
            Raisa menatap Arjuna lekat-lekat. “Juna, aku percaya padamu. Kalaupun di sana nanti kau menemukan gadis yang lebih segalanya dariku, tetap saja tak ada gadis yang mencintaimu sebesar aku selama ini. Aku percaya padamu, pada kita berdua.”
            Arjuna tak bisa berkata-kata. Dalam seminggu ini Raisa berubah menjadi jauh lebih bijaksana dari yang ia kenal. Namun Raisa tetap gadisnya. “Kalau begitu aku juga percaya padamu. Tunggu aku, akan kubuat semuanya terasa singkat untuk kita berdua.”
            “Baiklah. Selagi kita masih melihat langit yang sama, aku tak perlu takut kalau kau begitu jauh dariku,” ucap Raisa.
            Matahari pun terbenam. Hari terakhir mereka selesai begitu saja. Namun keduanya berjanji dalam hati akan selalu mengikat satu sama lain.
***
            Raisa tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Pagi ini rasanya begitu dingin. Walaupun Arjuna selalu mendekapnya dalam perjalanan menuju bandara, tetap saja terasa sangat dingin.
            Di bandara yang lumayan ramai itu, waktu Raisa untuk menatap Arjuna tersisa lima belas menit lagi.
            Arjuna memegang wajah Raisa dengan kedua tangannya. “Kumohon, jaga dirimu baik-baik. Mungkin aku tak bisa lagi memelukmu seperti kemarin, tapi kau harus ingat… doaku akan selalu memelukmu.”
            Raisa memeluk Arjuna erat-erat. Biarkanlah ia mengingat betapa hangatnya pelukan laki-laki ini. Ia lalu menatap mata Arjuna. “Till I meet you again, Arjuna. I will always love you.”
            Arjuna mendekat dan mencium kening Raisa untuk pertama kalinya. “I love you, Raisa. From the very first time I met you, until now. Till we meet again, my love.”
            Keduanya tersenyum. Saling menjaga nama masing-masing di dalam hati. Tak perlu keraguan; keduanya sudah saling percaya.
            Selama mereka berdua masih melihat langit yang sama, Raisa percaya. Tak akan sedikitpun ia menyerah untuk menantikan Arjuna.
            Arjuna, till I meet you again. Kuharap doaku juga bisa memelukmu dengan aman di sana.

You May Also Like

1 komentar

  1. So sweet. :D

    Aku sangat suka dengan tulisanmu. Kecepatan alurnya tepat dan kamu juga piawai memainkan deskripsi. Kata-katanya manis dan mengena. Sifat-sifat para karakter pun dengan mudah bisa aku hayati. Kamu pasti cukup berpengalaman dalam dunia tulis-menulis. Aku yakin akan ada banyak orang yang setuju dengan pendapatku ini. :D

    Oh ya, aku owner dari CariPenulis.com (@CariPenulis.Com on Twitter)

    Semangat menulis! ;)

    BalasHapus

For More