Till I Meet You Again (Short Story)
HALO. Nah mumpung lagi banyak dapat ide, akhirnya selesai juga nih satu short story. Semoga suka yaa, happy reading xoxo
Awan kelabu menyelimuti langit pagi
ini. Tak ada tanda-tanda matahari akan muncul. Malah, sepertinya awan kelabu
itu akan menurunkan hujan kembali seperti hari-hari kemarin. Membuat seluruh
kota terlihat suram dan dingin.
Terlihat seorang gadis berdiri seorang
diri di jembatan, merapatkan jaketnya yang tebal. Jari-jari tangannya terlihat
pucat dan berkali-kali ia menggosokan kedua tangannya, berharap mendapatkan
sedikit kehangatan. Sudah sepuluh menit ia berdiri di jembatan itu namun yang
ia tunggu tak kunjung datang.
Menunggu sudah salah satu kegiatan
Raisa yang tak bisa ia hindari setiap harinya. Dan pagi ini, seperti biasa ia
akan tetap menunggu laki-laki itu untuk datang kepadanya, tak peduli berapa
lama.
Selewat dua puluh menit, langit
sudah tak segelap tadi. Raisa masih tetap setia berdiri menatap sungai lebar di
hadapannya sampai akhirnya ia melihat sesosok laki-laki yang berjalan dari
kejauhan ke arahnya. Tanpa bisa ditahan, senyum Raisa mengembang lebar. Kakinya
yang ramping pun perlahan-lahan menghampiri laki-laki itu.
Mereka berdua berhadapan. Tinggi
Raisa hanya sedada laki-laki itu. Gadis itu mendongak menatap wajah favoritnya
sepanjang masa, Arjuna. “Juna! Kenapa kau lama sekali?”
Arjuna menatap Raisa datar. Tak
sedikitpun merasa bersalah. “Aku sudah bilang, tak usah menungguku. Tapi kau
tetap saja melakukannya. Apa harus kuberitahu setiap hari?”
Raisa pura-pura cemberut. “Ah, kau
ini. Cuaca sudah cukup dingin, apa kau juga perlu bersikap dingin seperti itu?”
Arjuna memutar bola matanya. Ia tak
suka berdebat dengan gadis di hadapannya ini. Ia melirik jam tangannya.
Setengah jam lagi sekolah akan dimulai, dan mereka berdua masih berada di
jembatan ini.
“… lagipula, kita berdua pasangan.
Masa kau tega membiarkanku pergi sendiri ke sekolah? Kalau ada apa-apa denganku
bagaimana? Kalau ada yang menculikku, apa kau mau bertanggung jawab?”
“Tak akan ada yang ingin menculik
gadis yang tak bisa membedakan mana garam mana gula, kau tahu. Lebih baik kita
pergi, ada Mr. Brown di kelas pertama kita!” ucap Arjuna.
Dengan sigap Raisa mengaitkan
tangannya dengan tangan Arjuna. Laki-laki itu hanya membeku sesaat sebelum
akhirnya bersikap normal kembali. Keduanya berjalan menyusuri jembatan.
Walaupun harus menunggu lama setiap
hari, itu tak pernah menjadi masalah bagi Raisa. Di negeri asing yang sudah ia
tinggali selama tiga tahun ini, Arjuna benar-benar bagaikan hujan di tengah
kekeringan baginya. Meninggalkan Indonesia dan harus bertolak ke London untuk
melanjutkan studinya, meninggalkan keluarga tercinta bagi Raisa sangatlah
berat. Ia gadis manja yang lugu dan terlalu cepat tertarik dengan sesuatu.
Dengan bijaksana, orang tuanya lalu mengirimkan Arjuna untuknya. Arjuna sendiri
memang berniat untuk belajar di London, namun begitu bertemu dengan Raisa untuk
pertama kalinya, ia merasa ragu apakah niatnya itu bisa berjalan dengan mulus.
Raisa benar-benar gadis manja yang
terlalu polos dan lugu. Arjuna heran, kenapa orang tua gadis itu berani
mengirim Raisa seorang diri ke London, kota asing yang belum pernah ia kunjungi
sebelumnya. Dan atas permintaan Mamanya pula, Arjuna menyanggupi permintaan
untuk menjaga gadis itu. Mereka selalu mengambil kelas yang sama dan rumah
mereka pun berdekatan.
Namun, seiring berjalannya waktu,
kegigihan Raisa membawa usaha. Sejak pertama bertemu dengan Arjuna di London,
gadis itu sudah menaruh hati kepadanya. Arjuna tahu semua usaha Raisa untuk
mendekatinya, namun ia berpura-pura buta. Ia metutup mata, hati, dan
telinganya. Tetapi, hati tetaplah hati. Perlahan-lahan, hatinya membuka untuk
Raisa. Hingga di suatu sore yang hangat itu, Arjuna menerima Raisa di hidupnya
sepenuhnya. Tak pernah ia lihat mata Raisa berbinar seperti itu.
Tahun demi tahun pun berlalu. Tak
terasa, ini tahun terakhir mereka sebagai murid di sekolah menengah di London.
Banyak yang berubah di antara mereka berdua. Walaupun mereka berdua tetap
bersama, tetap saja tidak sama dengan tahun pertama mereka dahulu.
Arjuna melirik Raisa yang berjalan
riang di sampingnya. Gadis itu masih memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
Tak ada yang harus dikhawatirkan dari gadis itu.
***
Mata Raisa tak henti-henti mencari
Arjuna di taman sekolah yang luas itu. Lelaki itu sudah berjanji akan
menemuinya tepat setelah bel istirahat berbunyi. Di tahun terakhir ini, ada
beberapa kelas yang tak mereka ambil bersama-sama. Untuk hari ini, Raisa baru
bisa bertemu dengan Arjuna di kelas pertama mereka tadi pagi.
Raisa membanting album yang ia bawa
ke bangku taman. Ia duduk dan menyilangkan kakinya sambil merapatkan jaketnya.
Apa tak cukup lama ia menunggu Arjuna tadi pagi? Kini ia harus kembali
menunggu. Penantian yang membosankan.
“Hey,
Raisa! What are you doing here?”
Raisa menoleh dan melihat Kimberly,
temannya di kelas Sejarah berdiri di dekatnya. “Oh, uh, you know just want to refresh my mind,” ucap Raisa sambil
menunjukkan novel yang ia bawa.
“Oh,
I see. But, it’s too cold here. Do
you want to go inside with me? Harry just bought some coffee for us,” kata Kimberly
riang.
Raisa tak pernah bisa menolak kopi.
Itu adalah minuman kesukaannya sepanjang masa. Namun, sejak mengenal Arjuna,
kopi pun bisa dilewatkannya begitu saja. Ini bukan pertama kalinya ia menolak
tawaran minum kopi dari temannya. “Well,
I’d love to but sorry… I’m waiting for Arjuna. Do you see him?”
“Arjuna? Wait… I think I saw him in library.” Raut wajah Raisa langsung
berubah. “Are you sure you don’t want to
come with me?”
“No,
thank you. See ya soon.”
Seperginya Kimberly, Raisa terduduk
lemas di bangku taman. Di perpustakaan
lagi? batin Raisa. Apa yang ia
lakukan disana?
Terlalu sibuk dengan pikirannya,
tanpa sadar bel telah berbunyi. Jam terakhir akan segera dimulai. Kesal
sendiri, Raisa buru-buru mengemasi barang-barangnya. Tetapi, tiba-tiba ada
tangan yang membantunya mengemas.
“Juna?” kata Raisa. Arjuna
mengacuhkannya dan tetap memberesi barang-barang. “Did you forget your promise?”
Arjuna menghela napas. “Kau tahu,
Mr. Smith tak suka dengan murid yang terlambat. Dan kau hanya punya… tiga menit
lagi.”
Raisa merampas barang-barangnya dari
Arjuna namun yang terjadi adalah semua barang itu jatuh dan berhamburan.
“Arjuna, kalau kau memang tak bisa menemuiku, kenapa tak bilang saja? Apa kau
pikir itu lucu kedinginan di sini sendirian?” Kesal sendiri, Raisa buru-buru
pergi dari hadapan Arjuna.
Ia marah dengan Arjuna. Tapi ia
lebih marah lagi dengan dirinya sendiri karena harus marah kepada laki-laki
yang amat dicintainya itu.
***
Arjuna menimang-nimang album di
hadapannya.
Sore ini ia bebas dari segala tugas
sekolah. Namun, terpaksa ia berdiam diri di rumah karena cuaca di luar
sangatlah dingin. Padahal, ingin sekali ia berbelanja barang-barang yang sangat
ia butuhkan.
Ditatapnya album mini itu. Dibukanya
perlahan. Di lembar pertama ada foto mereka berdua saat liburan musim panas.
Wajah Raisa memerah karena kepanasan dan ia ingat gadis itu menghilangkan topi
yang baru saja dibelinya. Benar-benar ceroboh. Saat mereka hendak pulang,
Arjuna melihat topi itu tersangkut di pohon dan dibawanya pulang tanpa
sepengetahuan Raisa. Sampai sekarang, topi itu disimpannya rapi di dalam lemari
baju.
Lembar kedua. Foto mereka saat di
rumah Raisa, berupaya setengah mati untuk membuat kue. Raisa ingin memberikan
kue itu untuk tetangganya yang berulang tahun, dan Arjuna berulang kali
menyarankan agar membeli saja, namun gadis itu bersikeras. Sudah bisa
diprediksi, kue itu gagal dibuat oleh Raisa. Masih segar diingatannya tampang
kusut gadis itu.
“Makanya,
aku sudah bilang kan. Lebih baik kita membelinya saja. Lihat apa yang kau
lakukan Kau membuang-buang bahan dan kau menghancurkan dapurmu sendiri,” ucap
Arjuna.
Wajah
Raisa mengerut. Ia memotong-motong stroberi dengan ganas dan tanpa sengaja ia
melukai jarinya. Keduanya terkejut. “Dan sekarang, kau ingin memotong jarimu?”
bentak Arjuna.
Air
mata Raisa menetes sekali… dua kali. Ia melepaskan celemeknya dan melemparnya
begitu saja. Arjuna melihat Raisa memasuki kamarnya dan terdengar isakan pelan.
Arjuna
tersenyum. Ia ingat apa selanjutnya. Dengan sabar ia membersihkan dapur yang
seperti terkena ledakan bom. Perlu satu jam penuh untuk membuat dapur itu
kembali seperti semula. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke toko kue
langganannya dan membeli sebuah kue kesukaan Raisa. Lalu ia memberikan kue ke
tetangga Raisa yang berulang tahun, dan mengatakan bahwa kue itu Raisa yang
buat.
Hari sudah larut saat ia kembali ke
rumah Raisa. Hanya kegelapan yang menyelimuti. Arjuna menyalakan lampu dan
dilihatnya Raisa tertidur pulas di kamarnya dengan jari yang masih berdarah.
Diam-diam Arjuna membersihkan luka
gadis itu dan menyelimutinya. Keesokan harinya, Raisa menerima ucapan terima
kasih dari tetangganya dan ia terus bertanya kepada Arjuna apakah ia berhasil
membuat kue itu sendiri.
“Aku
pikir aku gagal membuatnya dan kurasa aku benar-benar gagal, tapi… Matthew
bilang kue buatanku enak! Arjuna, apakah aku hanya bermimpi?”
“Mungkin
saja kau berhasil membuat kue itu namun kau lupa,” jawab Arjuna santai. Setelah
itu, Raisa terus tersenyum sepanjang hari.
Terdengar
suara pintu dibuka. Arjuna buru-buru menyimpan album itu di bawah kasurnya dan
segera membaca buku pelajaran. Dilihatnya Raisa menghampirinya. Ia mengulurkan
tangannya, meminta maaf.
“Apa?” tanya Arjuna tanpa
mengalihkan pandangan dari bukunya.
Raisa menghela napas dan duduk di
sofa di sebelah Arjuna. Gadis itu menyenderkan kepalanya. “Juna, sepertinya aku
berlebihan tadi siang di sekolah. Mungkin saja kau sibuk mengerjakan tugas di
perpustakaan. Lagipula, aku seharusnya tidak menunggu di taman saat cuaca dingin
seperti itu. Aku kan sudah berjanji padamu tidak akan sakit.”
Arjuna tetap membaca bukunya
walaupun pikirannya sudah tak fokus lagi. Ia merasakan kehangatan dari gadis di
sebelahnya. “Besok, jangan telat lagi. Kau tahu, sangat mengerikan menunggu di
jembatan seorang diri…”
“Mengapa kau menungguku? Aku kan
sudah bilang, berangkatlah sendiri.”
“Tidak mau. Waktu yang kita punya di
sekolah sangat sebentar, apa kau ingin menguranginya lagi? Tidak bisa!” bentak
Raisa dengan wajah cemberut.
“Baiklah. Namun, apa kau harus
menunggu di jembatan itu? Mengapa tak menungguku di depan rumah saja?”
Raisa menatap Arjuna. “Bisakah kau
datang pagi saja besok? Sudahlah. Aku lelah. Mau pulang, banyak sekali tugas
dari Mr. Smith.”
Raisa beranjak dari sofa. “Jangan
lupa dengan makan malammu,” ucap Raisa sebelum akhirnya ia hilang dari
pandangan.
Begitu gadis itu pergi, kehangatan
di kamarnya hilang begitu saja. Arjuna merasa gelisah. Ia buru-buru menengok ke
jendela namun gadis itu menghilang dengan begitu cepat. Ia menghembuskan napas
berat.
Mendengar penuturan Raisa, membuat
Arjuna serasa diiris hatinya. Sudah jelas bahwa itu adalah kesalahan Arjuna, berjanji
namun tak menepati. Namun, gadis itu meminta maaf. Seperti yang selalu ia
lakukan selama ini. Hampir dari semua kesalahan yang dibuat Arjuna, Raisalah
yang akan menyalahkan dirinya sendiri.
Arjuna merasa muak dengan dirinya
sendiri. Harus berapa lama lagi ia bersembunyi di balik topengnya?
Ia mundur dari jendela dan
tatapannya jatuh pada kalender di mejanya. Beberapa hari lagi menuju tanggal
yang sudah ia lingkari. Hari jadinya dengan Raisa.
Melihat tanggal itu, Arjuna
buru-buru mengambil mantelnya dan bergegas dari kamarnya.
Perlahan-lahan, ia berusaha membuang
topengnya itu. Membuang rasa gengsinya dan menunjukkan apa perasaannya yang
sebenarnya.
***
Raisa setengah berlari di koridor
yang lengang dan sepi itu. Dari semua kelas yang ia lewati, semuanya penuh
terisi murid dan guru. Tentu saja. Kelas sudah dimulai lima belas menit yang
lalu namun Raisa tak peduli. Pikirannya hanya satu sekarang: ruang musik.
Setelah menaiki beberapa puluh anak
tangga, akhirnya sampai juga Raisa di depan ruang musik. Kakinya berjingkat-jingkat
agar tak menimbulkan keributan. Ia mengintip melalui jendela dan dilihatnya di
panggung mini ruang musik Arjuna sedang memainkan biola. Memimpin anak-anak
lainnya dengan alat musik mereka masing-masing.
Tanpa pikir panjang, Raisa segera
masuk ke dalam ruangan itu dan memanggil Arjuna lantang. Ia menuruni
tangga-tangga dan kursi-kursi penonton menuju ke panggung. “Arjuna!”
Raisa berhasil: Arjuna mendongak dan
menatapnya terkejut. Namun laki-laki itu dengan sigap kembali fokus dengan
permainan biolanya. Namun, Raisa tak menyerah. Semakin dekat ia dengan
panggung, semakin nyaring pula ia memanggil Arjuna. Hingga akhirnya ia sampai
di depan panggung dan tersenyum. “Arjuna! Arjuna! Kau mendengarku, kan?”
Anak-anak lain memperhatikan Raisa
yang terus memanggil Arjuna tanpa henti. Mereka berhenti memainkan alat musik
mereka sampai akhirnya sisa Arjuna seorang diri memainkan nada-nada di
biolanya.
“Arjuna!” seru Raisa serak.
Arjuna menutup matanya lalu menaruh
biolanya begitu saja. Ia terlihat berbicara sebentar dengan teman-temannya lalu
menuruni panggung. Raisa tersenyum melihat Arjuna yang berdiri di depannya.
“Arjuna! Kenapa kau meninggalkanku
tadi pagi? Kau berangkat terlalu cepat, kau tidak ingin berangkat bersamaku?”
tanya Raisa.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
bentak Arjuna.
“Kau tahu, jembatan tadi pagi sangat
licin. Aku terpeleset dua kali hingga rok ku robek sedikit.” Raisa menunjukan
sobekan kecil di ujung roknya. “Tapi, syukurlah kau ada di sini. Kukira kau—“
“RAISA! APA YANG KAU LAKUKAN DI
SINI? APA MENURUTMU SIKAPMU INI BENAR?” teriak Arjuna. Ruangan langsung sepi
seketika. Semua mata tertuju pada mereka berdua.
Raisa terkesiap. Pintu terbuka dan
semuanya langsung menoleh. “Miss Raisa,
oh, finally I found you! What are you doing? Do you cut class again?”
Mrs. Blackwood menghampiri Raisa dan
Arjuna yang membeku. “So, can you explain
me, what are you doing here? You supposed to be in my class, aren’t you?”
Raisa merasakan lidahnya kelu. Ia
masih terkejut sehabis dibentak Arjuna dan sekarang Mrs. Blackwood menemukannya
disini. Habislah ia hari ini. “Uh, I went
to toilet but then I get lost…”
“Mr.
Arjuna, she’s your girlfriend, right?”
Arjuna mengangguk sekali dengan
kaku. Ia mengunci mulutnya. “Ah, I think
you can tell her to stay in class, not here. You know, she’s really bad at
Math. I wonder why you want to have a girlfriend like her.”
Raisa terus menunduk. Ini pertama
kalinya ia ketahuan membolos untuk menonton Arjuna yang sedang latihan di ruang
musik. Biasanya, ia menonton Arjuna diam-diam dari balik jendela dan Mrs.
Blackwood tak pernah tahu itu. Namun, inilah hari sialnya, yang akhirnya datang
juga.
“Okay,
Miss Raisa, I wait you in my office after my class finished. Mr. Arjuna, make
sure that she will not get lost again and come to my office.”
Mrs. Blackwood berlalu dan
meninggalkan ruangan dalam keheningan yang semakin menyesakkan. “Okay, guys. I think today is enough. See ya
tomorrow,” ucap Arjuna pelan.
Anak-anak itu dengan enggan
meninggalkan posisi mereka dan keluar dari ruang musik. Tersisa Raisa dan
Arjuna berdua.
“Apa kau membolos lagi?” tanya
Arjuna dingin.
“Iya, karena… tunggu dulu. Apa kau
tahu aku sering membolos kelas matematika untuk menontonmu di sini?” tanya
Raisa dengan mata berbinar-binar.
“Kau bangga kau membolos?” bentak
Arjuna. “Raisa, aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu! Kau sudah dewasa,
seharusnya kau tahu mana yang baik dan tidak. Apa kau pikir tindakanmu ini
hebat? Tidak sama sekali. Kau membuat dirimu dipermalukan, dan aku! Kau
membuatku kesal!”
Hening. “Mengapa kau mendatangiku?
Bukankah aku sudah pernah bilang jangan pernah menontonku di ruang musik? Apa
kau lupa? Mengapa kau tak pernah mengerti?”
Raisa tak mampu mengatakan apa-apa.
Semua kata-kata yang ia siapkan hanyut begitu saja. Sekuat tenaga ia menahan
air matanya agak tak tumpah. Rasanya menyakitkan mendengar Arjuna memarahinya
seperti ini.
“Lebih baik kau pergi ke kantor Mrs.
Blackwood sekarang. Jangan sampai kau kabur. Kau tahu jalan ke sana, kan? Apa
perlu kau ku antar seperti anak kecil?” tanya Arjuna tanpa ampun.
Raisa melihat Arjuna berlalu dari
hadapannya dan menaiki panggung. Ia memberesi biolanya dan dari atas panggung,
Raisa melihat Arjuna benar-benar marah padanya. “Raisa, kau menyuruhku datang
pagi? Aku bertanya-tanya apa definisi pagi untukmu. Dengar, jangan pernah
menungguku lagi. Kau tak bisa datang pagi.”
Seusai berkata begitu, Arjuna pun
pergi meninggalkannya. Perlahan, pertahanan Raisa pun hancur begitu saja. Ia
terduduk dan air mata langsung mengalir deras di wajahnya.
Pagi tadi ia terlambat karena
menyiapkan bekal untuk Arjuna. Biasanya, ia selalu datang pagi dan menunggu di
jembatan. Raisa yakin Arjuna akan berangkat bersamanya pagi ini, sebab itulah
ia ingin Arjuna memakan bekal buatannya. Tetapi, ia hanya terlambat sedikit dan
Arjuna sudah pergi.
Ini bukan pertama kalinya Raisa
menangis karena Arjuna. Ia selalu berharap tangisannya itu akan menjadi yang
terakhir. Setiap kali ia mulai menangisi laki-laki itu, ia selalu berharap
untuk menjadi tangisan terakhir. Namun, lagi-lagi harapannya sirna.
Kembali Raisa merelakan air matanya
jatuh untuk Arjuna.
***
Perkelahian di sekolah tadi membuat Arjuna
sedikit tak fokus dengan pekerjaannya. Sampai malam ini, gadis itu belum ada
menghubunginya. Terakhir kali melihatnya di ruang musik, Arjuna yakin gadis itu
pasti menangis. Seharian itu sulit sekali menemukan Raisa. Dan sekarang, Arjuna
panik bukan main.
Berkali-kali ia mengetik pesan untuk
Raisa, namun berulang kali ia hapus. Ia tak punya nyali. Padahal ia sangat
merana saat ini.
Memutuskan untuk melupakannya
sejenak, Arjuna berusaha mengumpulkan konsentrasinya. Kertas-kertas berhamburan
di mejanya. Berlembar-lembar foto bertumpuk. Lem, penggaris, pensil, pita-pita
kecil, dan berbagai pernak-pernik lainnya tersebar di atas meja.
Besok adalah hari jadi Arjuna dengan
Raisa. Dan ia sudah memutuskan besok adalah waktu yang tepat untuk semuanya. Ia
akan menjelaskan semuanya kepada gadis itu. Betapa ia tak ingin melihat Raisa
kedinginan dan sendirian di jembatan untuk menunggunya, betapa kecewanya Arjuna
dengan dirinya sendiri saat Raisa menontonnya secara diam-diam saat ia
memainkan biolanya. Bidang yang selama ini ia sembunyikan dan hanya Raisa yang
tahu. Tapi, permainannya belum bagus. Ia ingin Raisa melihatnya hanya jika ia
sudah sangat handal dengan biolanya itu.
Arjuna menghela napas. Betapa ia
ingin membela gadis itu dari kekejaman kata-kata Mrs. Blackwook. Betapa ia
ingin menghapus air mata yang menggenangi mata indah gadis itu. Jika harus
merasakan sakit yang luar biasa agar gadis itu tak terluka, Arjuna pasti akan
menerimanya.
Arjuna mencintai Raisa. Terlalu
dalam hingga terpaksa ia topengi dirinya dengan sikap dinginnya selama ini.
Arjuna tahu diri. Ia hanya laki-laki biasa dengan sejuta mimpi yang berusaha ia
wujudkan. Melihat Raisa yang begitu bersemangat dengan hidupnya, membuat Arjuna
malu. Ia merasa tak pantas memiliki Raisa yang begitu menawan dan berharga.
Namun besok, ia akan melepas dan
membuang topengnya jauh-jauh. Mungkin belum semua mimpi Arjuna terwujud, namun
ia akan membiarkan Raisa membantunya. Ia tahu gadis itu senang membantu. Tak
ada lagi Arjuna yang bersikap dingin. Yang ada hanyalah Arjuna yang menyayangi
Raisa sepenuh hati.
Scrapbook setengah jadi buatan
Arjuna ini disiapkannya spesial hanya untuk Raisa. Gadis itu pasti akan
tersenyum bahagia. Senyum Raisa benar-benar tak ada tandingannya bagi Arjuna.
Senyum tulus nan polos layaknya anak kecil yang selalu bisa menggetarkan hati
Arjuna. Sepertinya ia harus tak tidur sampai besok untuk menyelesaikan
scrapbook ini. Namun, Arjuna akan mengerjakannya dengan sepenuh hati. Tak
peduli besok ada ujian akhir.
Pukul sepuluh malam, Arjuna
memutuskan untuk rehat sejenak. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan
kepada Raisa. Sebuah ‘hey’ singkat yang selalu ia kirimkan. Ini akan menjadi
‘hey’ terakhir baginya. Besok, ia akan selalu menelpon gadis itu.
Ponselnya bergetar dan Arjuna
buru-buru mengambilnya. Bukan pesan, melainkan sebuah panggilan. Papa. “Halo,
Pa. Ada apa?”
“Oh, Arjuna. Kau belum tidur?”
“Belum. Ada apa?”
“Sebentar lagi, kau akan lulus dari
SMA. Papa ingin kau melanjutkan kuliahmu di sini saja. Bagaimana?”
Arjuna terdiam. “Maksud Papa?”
“Mama tak ingin berjauhan denganmu,
Arjuna. Mama ingin kau pulang, dan berkumpul lagi di sini. Ia ingin kau jadi
dokter di Indonesia saja.”
“T-t-tapi, Pa. Raisa? Dia tetap di
sini. Dia akan kuliah di sini,” ucap Arjuna gugup. “Papa tahu, kan, aku harus
menjaga Raisa? Papanya sendiri yang memintaku. Papa kan berteman dengan Papa
Raisa, apa Papa tak tahu bahwa aku harus menjaganya?”
Terdengar tawa Papa. “Jangan takut.
Ini Papa Raisa khusus akan mengatakannya padamu.”
Jantung Arjuna berdegup kencang
mendengar suara Papa Raisa. “Halo? Ah, Arjuna. Masalah Raisa, tak usah
dipikirkan. Kami sekeluarga memutuskan untuk menetap di London dan menemani
Raisa. Kau bisa pulang ke Indonesia. Surat-suratmu sedang diproses.”
Arjuna meletakkan ponselnya. Tepat
disaat ia ingin berubah menjadi orang yang jauh lebih baik bagi Raisa, kini ia
harus kembali. Kembali ke dunia nyatanya.
Ponselnya bergetar. Buru-buru Arjuna
mengambilnya. Pesan singkat dari Raisa, sumber kegamangannya saat ini.
Ada
apa? Kau belum tidur, Juna? Besok ujian, jangan terlalu paksa dirimu untuk
belajar! Kau kan sudah sepintar profesor!
Arjuna
tersenyum namun segera hilang begitu ingat perkataan Papanya tadi. Ia tak bisa
membantah; tak ada haknya untuk itu.
Dari awal, Raisa memang terasa
seperti mimpi ketimbang kenyataan. Ia terasa sangat jauh dijangkau, namun Tuhan
mengijinkannya untuk merengkuh Raisa. Tapi, kesempatan itu tak digunakannya
benar-benar hanya karena pemikirannya yang sekarang terasa sangat bodoh itu.
Raisa akan tetap hidup di dalam
dunia mimpinya. Mungkin sekarang waktunya bagi Arjuna terbangun dan menjalani
kenyataan.
Untuk menjadi dokter. Bukan di
London, tetapi di Indonesia. Tak bersama Raisa, namun dengan cita-citanya
menjadi pemain biola profesional yang harus dikuburnya dalam-dalam.
***
Raisa duduk di bangku taman yang
lumayan sepi. Ia memegang bukunya tanpa ada niat untuk membacanya sama sekali.
Hari ini sangat gelap, sepertinya akan turun hujan deras. Namun, Raisa tetap
bergeming di tempatnya.
Hari ini adalah hari jadinya dengan
Arjuna. Seharusnya ia senang, berbahagia dan bersikap menyenangkan. Namun yang
ada ia malah menyendiri dan terus bersedih. Ia tak pernah mengharapkan hadiah
apapun dari Arjuna di tahun jadi mereka tahun lalu. Kehadiran laki-laki itu
jauh lebih berharga daripada kado apapun.
Di tahun ini, Raisa tak menyiapkan
apapun untuk Arjuna. Ia merasa bersalah, namun entah mengapa ia berpikir bahwa
perkelahian kemarin membuatnya merasa terpukul mundur. Arjuna melangkah semakin
jauh saja dari dirinya. Laki-laki itu seperti terbang bebas ke atas tanpa bisa
ditahan. Raisa mana mampu menyainginya.
Apa mungkin ia harus melepaskan
Arjuna? Lelaki itu jarang sekali terlihat bahagia apabila dengannya. Berbeda
ketika ia bermain biola. Wajahnya terlihat bersinar penuh kebahagiaan.
“Hey…”
Raisa menoleh dan mendapati Arjuna
berdiri di depannya. Cepat-cepat ia berusaha tersenyum. “Hey, kau sudah makan
siang?”
Arjuna mengangguk dan duduk di
sebelahnya. “Raisa, sebenarnya ada yang ingin kukatakan.”
“Benarkah? Sepertinya aku juga,”
ucap Raisa.
“Oh, begitu? Kau bicara duluan.”
Raisa menarik napas. “Selama ini,
aku tahu kita sering bertengkar. Tapi kurasa… pertengkaran kita yang kemarin
seakan menjelaskan semuanya…”
“Apa maksudmu?” potong Arjuna
langsung.
Raisa menunduk. Ia harus
mengatakannya. Ia harus melepaskan Arjuna demi kebaikan laki-laki itu sendiri.
“Juna… mengapa kau tak pernah terlihat bahagia ketika bersamaku? Apa aku begitu
menyebalkan bagimu? Apa kau benar-benar tak bisa melihatku sekali saja?”
Tundukan Raisa semakin dalam. Luka
di hatinya terbuka lagi dan ia mulai tak mampu menahan tangisnya. Seakan ingin
menemani, hujan pun perlahan turun. Namun keduanya tetap diam tak bergerak
sesenti pun. “Aku tak peduli apabila kau tak bisa sehangat laki-laki lain, aku
tak peduli kau tak pernah memperlakukanku dengan romantis, aku tak peduli
apabila kau sangan dingin, karena aku percaya, kau menyayangiku dengan caramu
sendiri. Namun… selama ini, hanya akulah yang mengatakan aku peduli kepadamu.
Hanya aku seorang diri yang mengatakan aku mencintaimu.
“Kurasa, aku tak bisa berjuang
seorang diri lagi. Bukan karena aku tak mau, tapi aku tak bisa melihatmu selalu
kesal jika berada di dekatku. Maka, lepaskanlah aku. Untuk apa kau bertahan di
hubungan yang diperjuangkan sebelah pihak?”
Keduanya sudah basah kuyup. Raisa
mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri untuk menatap Arjuna. “Juna,
terima kasih. Setidaknya kau selalu mengingatkanku untuk tidak ceroboh. Kau
benar, aku tak bisa datang pagi. Aku tak bisa menyamakan langkahku dengan
langkahmu.”
Arjuna menatap Raisa. Tatapannya tak
bisa dijelaskan. Ia berdiri dari bangku taman, lalu melemparkan sebuah buku ke
sebelah Raisa. “Kau membuatku benar-benar terlihat seperti laki-laki tak
berperasaan. Kau tak tahu yang sebenarnya. Kau tak tahu.”
Raisa mengawasi Arjuna yang berjalan
menjauh. Pandangannya samar-samar tertutupi genangan air matanya. Hatinya
hancur lebur. Belum pernah Raisa semerana ini.
Ia kira ia akan kuat merelakan
Arjuna pergi begitu saja. Ternyata tak mudah merelakan seseorang yang sangat
dicintai untuk pergi begitu saja.
***
Arjuna berbaring di kamarnya menatap
kosong ke langit-langit. Kegelapan menyelimuti kamarnya dan seisi rumah. Ia tak
punya kekuatan bahkan untuk sekedar menyalakan lampu. Ia benar-benar merasa tak
berdaya.
Raisa terluka karenanya. Tapi, ia
juga merasakan luka. Walaupun tak sesakit Raisa, namun tetap saja. Membuat
Arjuna merana.
Tepat di saat ia ingin mengubah
segalanya, Raisa menyerah terlebih dahulu. Gadis manapun pasti tak ada yang
sanggup menghadapi sikap dinginnya selama ini. Raisa terlalu kuat untuk seorang
gadis, menahan sakitnya sendirian.
Arjuna tak tahu lagi apa yang harus
ia lakukan. Apakah ia harus kembali ke Indonesia dengan perasaan seperti ini?
Mengingat Indonesia, tanggal kepulangannya sudah ditentukan. Ujian pun sudah
berakhir; tak ada lagi yang bisa menahan Arjuna untuk tetap di London.
Mata Arjuna memanas dan tanpa bisa
ia tahan air matanya menetes. Ia benar-benar menyesal. Namun, ternyata ia
terlambat.
Tiba-tiba pintu kamar menjeblak
terbuka dan lampu menyala. Arjuna segera bangkit dari kasurnya dan menyipitkan
mata. Didapatinya Raisa berdiri di ambang pintu. Wajah gadis itu pucat dan
matanya sembab.
“Raisa?”
Raisa perlahan-lahan melaangkah
menuju Arjuna. Tanpa diduga, gadis itu memeluk Arjuna yang seketika membeku. Bahu
gadis itu berguncang karena tangisannya. Tangan Arjuna pun tergerak membalas
pelukan Raisa. Ia merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
“Kenapa… kenapa kita berdua
menyakiti diri sendiri? Kau dengan topengmu dan aku dengan pikiran burukku.
Kenapa, Juna? Kenapa?”
Arjuna yakin Raisa telah membaca
scrapbook yang ia buat susah payah. Semua ia jelaskan di situ. “Sekarang kau
tahu kan, kenapa aku tak ingin kau menungguku di jembatan?”
Raisa terisak. “Aku mencintai
Arjuna, dengan segala kekurangannya. Dengan sikap dinginnya. Aku mencintamu
sepenuhnya, tak peduli kau sudah menjadi siapa ataupun belum.”
Arjuna memejamkan matanya dan
memeluk Raisa lebih erat lagi. “Maafkan aku. Kumohon, maafkan aku.”
Raisa menggeleng. “Aku tak ingin
mendengarnya. Anggap saja tak ada yang salah. Biarkan kita ulang semuanya dari
awal.”
Arjuna mengangguk ragu. “Mulai besok, mari kita lakukan semuanya
bersama-sama. Sampai selamanya. Semua bersama-sama.”
Raisa melepaskan pelukannya. Ia
tersenyum sembari menangis. “Ya, semuanya bersama-sama. Sampai kau harus
kembali lagi ke Indonesia, mari kita lakukan apa yang kita bisa.”
“Kau… sudah tahu?”
“Baru saja Papa meneleponku.”
“Kau bisa menerimanya?” tanya Arjuna
tak percaya. Gadis itu terlihat tenang.
“Tentu saja tidak. Tapi aku tak mau
membuang waktuku. Biarkan saja hari itu datang, aku hanya berpikir untuk
sekarang.”
Arjuna segera menarik Raisa ke
pelukannya. Tak ingin sedetikpun ia lepaskan.
***
Seminggu penuh ini digunakan Arjuna
dan Raisa untuk mengelilingi kota London. Mereka berdua bersenang-senang dan
tak memperdulikan apa yang menanti mereka esok hari. Tak pernah keduanya
terlihat bahagia seperti sekarang ini.
Sehari sebelum kepulangan Arjuna ke
Indonesia, keduanya memutuskan untuk mengakhiri hari mereka dengan duduk di
pantai sambil melihat matahari terbenam. Arjuna merangkul Raisa erat.
“Apa kau akan merindukanku di sana?”
tanya Raisa.
Arjuna tertawa. “Kurasa tidak.”
“Apa kau mau kupukul?” tanya Raisa
lagi sambil tertawa.
“Belum pergi saja rasanya aku sudah
merindukanmu,” bisik Arjuna. Ia mengusap kepala Raisa penuh sayang. “Apa kau
mau menungguku?”
“Tentu saja. Bukankah selama ini aku
selalu menunggumu?”
“Kali ini berbeda. Ada jarak yang
menghalangi kita, belum lagi perbedaan waktu. Apa kau yakin?”
Raisa menatap Arjuna lekat-lekat. “Juna,
aku percaya padamu. Kalaupun di sana nanti kau menemukan gadis yang lebih
segalanya dariku, tetap saja tak ada gadis yang mencintaimu sebesar aku selama
ini. Aku percaya padamu, pada kita berdua.”
Arjuna tak bisa berkata-kata. Dalam
seminggu ini Raisa berubah menjadi jauh lebih bijaksana dari yang ia kenal.
Namun Raisa tetap gadisnya. “Kalau begitu aku juga percaya padamu. Tunggu aku,
akan kubuat semuanya terasa singkat untuk kita berdua.”
“Baiklah. Selagi kita masih melihat
langit yang sama, aku tak perlu takut kalau kau begitu jauh dariku,” ucap
Raisa.
Matahari pun terbenam. Hari terakhir
mereka selesai begitu saja. Namun keduanya berjanji dalam hati akan selalu
mengikat satu sama lain.
***
Raisa tak bisa menyembunyikan rasa
sedihnya. Pagi ini rasanya begitu dingin. Walaupun Arjuna selalu mendekapnya
dalam perjalanan menuju bandara, tetap saja terasa sangat dingin.
Di bandara yang lumayan ramai itu,
waktu Raisa untuk menatap Arjuna tersisa lima belas menit lagi.
Arjuna memegang wajah Raisa dengan
kedua tangannya. “Kumohon, jaga dirimu baik-baik. Mungkin aku tak bisa lagi
memelukmu seperti kemarin, tapi kau harus ingat… doaku akan selalu memelukmu.”
Raisa memeluk Arjuna erat-erat.
Biarkanlah ia mengingat betapa hangatnya pelukan laki-laki ini. Ia lalu menatap
mata Arjuna. “Till I meet you again,
Arjuna. I will always love you.”
Arjuna mendekat dan mencium kening
Raisa untuk pertama kalinya. “I love you,
Raisa. From the very first time I met
you, until now. Till we meet again, my love.”
Keduanya tersenyum. Saling menjaga
nama masing-masing di dalam hati. Tak perlu keraguan; keduanya sudah saling
percaya.
Selama mereka berdua masih melihat
langit yang sama, Raisa percaya. Tak akan sedikitpun ia menyerah untuk
menantikan Arjuna.
Arjuna,
till I meet you again. Kuharap doaku juga bisa memelukmu dengan aman di sana.
1 komentar
So sweet. :D
BalasHapusAku sangat suka dengan tulisanmu. Kecepatan alurnya tepat dan kamu juga piawai memainkan deskripsi. Kata-katanya manis dan mengena. Sifat-sifat para karakter pun dengan mudah bisa aku hayati. Kamu pasti cukup berpengalaman dalam dunia tulis-menulis. Aku yakin akan ada banyak orang yang setuju dengan pendapatku ini. :D
Oh ya, aku owner dari CariPenulis.com (@CariPenulis.Com on Twitter)
Semangat menulis! ;)