Happiness is in the Journey

by - 23.12


Image via Canva



What is your definition of happiness?






When I was in elementary school, my definition about happiness is when you have no homework, get perfect score for your exam (and homework too), Mom cooks my favorite food, buy my favorite snacks, watch tv, or play The Sims on computer. As simple as that.

But when I was in junior high school, my definition of happiness was changed. Entah karena terpengaruh lingkungan dan pertemanan atau perkembangan di segala aspek semakin canggih, definisi bahagia jadi sedikit lebih rumit. Contohnya, waktu SMP itu lagi jaman banget yang namanya Blackberry. Ibaratnya, lu nggak gaul, deh, kalau ngga main BB. I watched almost all of my friends had that thing. Saling tukar-tukaran pin BB, broadcast sana-sini, dan hal-hal gaul lainnya yang cuma ada di BB (remember that screenmuncher thing? It was so fascinating) . And of course, my 13 years old self was so desperate to have Blackberry too. But sadly, I couldn’t afford that thing. Never in a million years I would have that phone back then.


Dan kemudian bermunculan benda-benda lain yang bikin aku berpikir, “Kalau aku punya (benda yang lagi ngehype), aku pasti bakalan bahagia.” And you know what? Mindset itu terbawa sampai aku kuliah kemaren.

Begitu masuk SMA, mungkin benda masih jadi fokus utama untuk bisa bikin aku bahagia. Tapi, ada hal-hal lain yang mulai menjadi variabel baru dalam penentu kebahagiaanku. Salah satu contoh simplenya, saat punya gebetan. I know this one sounds so crazy or weird, but that’s what I feel during my senior high school.

I was having a crush with someone, and at that time, I dont know why but almost all of my friends were in relationship. Tentu, dong, jiwa jomblo ini berteriak pengen juga (this one sounds too much lol!). Tapi siapa, sih, yang nggak pengen (saat itu)? Ngeliat teman didatangin pacarnya pas istirahat, pergi-pulang sekolah bareng, nonton ke bioskop pas weekend, terus kalau ada jam kosong kadang suka ‘mojok’ unyu-unyu gitu. Berasa manis banget, deh. Kalau di umur sekarang mungkin udah nggak begitu relatable lagi, tapi waktu SMA, hal-hal itu rasanya krusial banget.

Jadi, muncul lagi satu pikiran, “Liat temen-temen pada pacaran asyik banget, deh. Kalau aku pacaran, mungkin aku bisa bahagia juga kali, ya?”or this one, “Kayaknya aku nggak bakalan sedih lagi kalau aku bisa deket sama si A. Secara dia kan lucu.”

Dan di SMA pun, pikiran-pikiran semacam itu terus bermunculan di kepala, dan tanpa disadari sebenarnya hal itu bikin aku gampang down. Apalagi, hal-hal itu ternyata nggak terwujud.
It was 2014 and I wrote this on my Twitter:



Waktu SMA, nggak tau kenapa kayaknya susah banget untuk ngerasa bahagia sesuai definisiku. Entah masalah sekolah, cita-cita, gebetan, keluarga. Rasanya semua campur aduk, dan otak aku bener-bener berasa kusut.

Menginjak masa kuliah, this wrong mindset masih terbawa sampai akhirnya aku semester 7, mau skripsian. Selama kuliah, aku juga mikir, kalau aku punya benda a, b, c, kayaknya aku bakalan bahagia banget, deh. Pasti bikin aku tambah semangat kuliah. Dan parahnya juga, aku pernah sampai mikir, kalau aku punya barang yang lagi ngehype itu, mungkin aku bisa join di pergaulan si A, atau  “Kalau aku cantik kayak si B, mungkin aku bisa temenan kali ya sama si C.” This kind of mindset was inevitable. For me.

Weird and scary, isn’t it?

Sampai akhirnya, di semester 7 kemaren, perlahan-lahan aku mikir, “Apa iya kalau aku harus dapat sesuatu dulu aku baru bahagia? Kok rasanya bakalan sulit banget, ya?” Then finally I realized, I was wrong all this time. That old mindset, slowly but sure could destroy my mental health.

Kebayang nggak betapa sulitnya, baru bisa bahagia kalau bisa raih atau dapatin sesuatu? What if I couldn’t get what I want? Then I wouldn’t be happy? What a sad life, isn’t it? Just because you don’t get that new phone with three cameras behind and the pretty pastel colours (iykwim), you wont be happy.

Bertahun-tahun aku terjebak di mindset yang salah, bertahun-tahun aku harus menelan kekecewaan sendiri akibat ekspektasi yang terlalu tinggi pada hal-hal yang sebenarnya nggak bisa diharapkan. Dan selain menggantungkan harapan, aku juga menaruh “kebahagiaan”ku di sana, atau di orang lain. And sadly, hal-hal tersebut jarang yang menjadi kenyataan. Dan sekarang aku mikir, mungkin hal-hal tersebut nggak jadi kenyataan karena niatnya yang salah. Tujuannya yang nggak tulus. Atau sesederhana kalau ternyata memang hal tersebut nggak ditakdirkan untuk ada di hidup ini.

Because you know what? Berharaplah hanya kepada Allah SWT.

Maybe this sounds ridiculous, tapi, selama proses skripsian kemaren banyak banget ngajarin aku tentang yang namanya berproses yang akhirnya ngerubah mindset. Dan salah satunya definisi aku tentang kebahagiaan.

Selama berproses, pasti banyak banget ups and downsnya. Waktu di acc judul skripsi, senangnya bukan main. Kemudian, mulai mau bimbingan. Ternyata dosennya lagi sibuk, atau nggak bisa ditemuin selama seminggu karena lagi di luar kota. Diri yang terlalu rapuh dan overthinking ini tiba-tiba jadi ngedown, apalagi kalau liat teman yang lain udah ada yang daftar seminar. Rasanya langsung panas dingin sendiri. Karena mindset aku waktu itu adalah, aku bakal baru bisa ngerasain yang namanya bahagia kalau aku udah seminar proposal, atau di acc untuk maju seminar sama dosen pembimbing. And you know what, it was wrong, totally wrong, my friend. Selain salah, mindset itu juga ngaruh ke mental aku. Aku jadi sering banget down, ngerasa nggak worth it, and I compared myself a lot with my friends.

Kemudian aku sampai di satu titik di mana bikin aku berpikir, “I can’t be like this.” Sampai kapan aku harus gantungin kebahagiaanku pada hal-hal yang jelas-jelas ada di luar kendali? Apa iya ada jaminan setelah aku dapat yang aku mau tiba-tiba aku bisa bahagia banget? Gimana kalau ternyata setelah aku in relationship dengan si XYZ ternyata aku nggak bahagia? (eh, ini lain lagi, ya? Haha!)

Aku nggak bisa menaruh kebahagiaanku ke tanda tangan dosen pembimbing di lembar pengesahan, karena kalau aku belum dapat, apa iya artinya aku nggak akan bahagia? Karena, kalau aku belum dapat, apa itu artinya aku gagal? Gagal = jadi sedih = tidak bahagia? Mungkin waktunya aja yang belum. Bukan nggak, tapi belum.

Aku juga nggak bisa menaruh kebahagiaanku di orang lain, karena apa yang diucapkan, dipikirkan, dan dilakukan orang lain itu di luar kendaliku.

Aku tau, di acc dosen pembimbing, maju seminar proposal, dan hal-hal seputaran itu memang bikin bahagia, and of course you should be happy for this. Tapi tau nggak? Semua itu bisa kamu raih karena kamu udah berproses.

I started to think that even in this skripsian process, I was happy. Sesulit apapun prosesnya, aku bahagia. Lagi ngerjain sampel data yang sampai ratusan, walaupun pusing, aku juga happy-happy aja. Karena aku tau aku sedang berproses. Lagi revisian habis konsul, aku juga senang. Because this is too, a part of the process. Dan aku berusaha sebisa mungkin untuk fokus dan enjoy dengan proses, bukan hasil akhirnya. Selama aku berusaha dengan baik, be happy at the present, dan berdoa, hasilnya terserah sama yang di atas. Allah Maha Tahu.

The happiness itself is within yourself. It is in yourself. Not in the other things, nor other people.
Untuk menjadi bahagia, nggak perlu tuh harus mencapai sesuatu dulu. Punya sesuatu dulu. Sederhananya, bahagia ya bahagia aja. Ngapain nunggu hal-hal lain?

Hari ini kena macet di jalan? Nggak apa-apa, masih bisa bahagia kok sambil mandangin ramainya lalu lintas atau sekedar bersyukur udah dalam perjalanan menuju rumah/kosan.
Mau bimbingan skripsi tapi dosennya ke luar kota? It’s okay, artinya hari ini disuruh rehat dulu di rumah nonton drama korea.

See? It’s all in your mind. It’s about the perspective.

Selain itu sewaktu kuliah kemaren, aku juga sadar banget bahwa ada banyak momen menyenangkan di hidupku yang aku nggak nikmatin. My body was there, but my mind is in the future. Wandering around. Contoh simpelnya adalah, waktu itu aku ketemu seseorang yang aku pengen banget temuin. I was having a fun time, but deep down I was scared. My mind was thinking, “What if I couldn’t meet him again? What if I couldn’t hear that laugh anymore?” I ruined the moment. Karena aku terlalu mikir jauh ke depan, dan hasilnya aku nggak menikmati apa yang ada saat itu. I ruined the happiness at that time, I wasn’t being thankful.

Dan setelah banyak kejadian seperti itu berulang, barulah aku berpikir. You will never be fully happy if you always think about what happen next, what happen after this, thinking about the future. Jadi, sebisa mungkin setiap aku lagi ada di momen yang membahagiakan, aku berusaha untuk enjoy dan nggak mikir jauh ke depan. Just live that moment. Be thankful, feel the happiness.

Makin kesini, aku makin paham. Kebahagiaan itu erat kaitannya dengan bersyukur, dan nggak memikirkan terlalu dalam hal-hal yang di luar kendali kita. Oh, satu lagi. Live in the present. Jadi, kalau ibarat skripsian, kebahagiaan itu variabel dependen, dan bersyukur, things inside our control, live in the present adalah variabel independennya.

Kebahagiaan = bersyukur + hal dibawah kendali kita + live in the present

Jadi, menurut aku, happiness is in the journey. Selama berproses, akan ada banyak banget kebahagiaan yang bisa dirasakan, as long as you let yourself to feel it.

Do you still remember the tweet I mentioned above? One of my friend replied like this,


Dan baru sekarang aku ngerti maksudnya, meresapi maknanya. Thanks to you, Kak Tanti!

I almost forget to mention this one: salah satu yang ngubah mindsetku adalah buku Filosofi Teras by Henry Manampiring. IT IS A REALLY GOOD BOOK. Trust me. Di buku itu aku belajar tentang dikotomi kendali; ada hal-hal yang di bawah kendali kita (seperti opini, persepsi, dan pertimbangan kita sendiri), hal-hal yang nggak bisa kita kendalikan (seperti cuaca, opini, dan tindakan orang lain). I really recommend this book to all of you yang sering ngerasa khawatir, baperan, susah move on, mudah tersingguh dan marah-marah di sosmed or in a real world (this one is written in the blurb).
You can read about the book here: https://henrymanampiring.com/2018/11/21/filosofi-teras-stoicisme-dan-emosi-negatif-kekinian/

Source: Gramedia

An lastly, I write this as a reminder for myself. If one day I forget about my definition of happiness, I would go back to this post and simply remind myself, that happiness is in yourself, in your mind. In the journey.

You don’t need any reasons to be happy.
You just be happy.

Peace,


Nanad (yang lagi lapar)
 

You May Also Like

0 komentar

For More