Semarang I'm in Love

by - 01.52

Hello guys! Happy New Year 2014! Semoga di tahun ini bisa lebih baik lagi dari sebelumnya. Lebih banyak bahagianya daripada sedihnya. I will make 2014 as my year. Amin.
Sooooo, I wanna post a story again. Tapi ini gaada hubungannya sama cerita-cerita kemaren, yang singfiction itu. Sebenarnya ini buat ikutan lomba kemaren, cuma gak pede, jadi ga ikutan :')
This story special for @AcinantyaD i never met you but i love you so much(?) wahaha enjoy!
       

  Semarang I'm in Love

Bandar Udara Achmad Yani, Semarang.
Kutarik koperku yang lumayan besar seraya melangkah ke depan, menembus kerumunan orang yang lumayan padat siang ini. Banyak yang sama sepertiku, berjalan sendiri sambil membawa koper. Namun tak sedikit juga yang berdua, bertiga, atau bergerombol seperti yang kulihat di sudut sana, di dekat pintu keluar.
Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok itu. Perempuan tinggi dengan pembawaan yang sangat ceria, selalu tersenyum, seakan tidak pernah ada masalah di hidupnya.
Aku menarik koperku yang lumayan berat ini. Mataku mencari-cari, dimana kira-kira sahabatku itu berada.
Sampai akhirnya kudengar ada yang memanggil suaraku, namun sayup-sayup; bandara terlalu ramai siang ini.
Aku menoleh, mencari sumber suara itu. Dan di antara banyaknya orang, kulihat seorang perempuan dengan rambut sebahu, tersenyum riang sambil melambaikan tangannya heboh.
Aku tertawa, kemudian berlari menghambur ke pelukan perempuan itu. “Acin! Ya ampun, kangen banget!”
Kudengar tawa Acin yang ternyata masih sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. “Ya ampun, Naya! Kamu makin pendek aja!”
Kupukul bahu Acin, merengut. “Tau, deh, kamu tinggi kayak tiang listrik!” kataku, dan Acin lagi-lagi tertawa. “Anyway, you’ve changed a lot!”
“Really? Ah, kamu juga, kok. Everybody does,” kata Acin. “Yaudah yuk, langsung kerumah aja, kamu pasti capek banget, kan?”
Aku mengangguk. Wajahku pasti sudah absurd banget. Dari Samarinda ke Semarang, duduk terus-terusan tentu aja bikin capek.
“Oh iya, kenalin, nih. Temen-temen yang aku ceritain ke kamu kemaren…” Acin menarik beberapa temannya kehadapanku. “Yang tinggi banget ini namanya Dewa, terus ini yang suka ngelawak namanya Billy, ini yang imut-imut Winda, dan yang ini Ruben, yang paling normal daripada yang lain.”
Kulihat empat teman Acin tersenyum kepadaku. Wajah mereka ramah-ramah. “Hai, Naya… Kami udah sering banget loh, denger cerita kamu dari Acin. Cuma baru bisa ketemu sekarang, ternyata kamu jauh lebih keren daripada yang Acin ceritain!” ucap Billy sambil tersenyum kepadaku yang langsung kubalas dengan tawa kecil.
“Naya, Billy nggak usah diladenin. Dia emang kayak gitu orangnya,” kata Acin. Kulihat Billy cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menunjuk Acin. “Di antara kami berlima, yang waras cuma aku sama Reuben. Bahkan Wanda ini kalau udah ketularan si Billy bisa jadi gila!”
Billy langsung menutup mulut Acin, kemudian menatapku. “Naya, Acin emang pilih kasih orangya. Dia lebih suka sama Ruben daripada kita-kita.”
Aku kembali tertawa melihat kelakuan mereka yang layaknya anak TK.
“Ah, udahlah. Ntar Naya juga liat sendiri siapa yang waras siapa yang nggak!” ucap Acin sambil menjulurkan lidah ke Billy. “Yaudah yuk, cabut!”
Aku sudah hendak menarik koperku namun ada tangan yang menghalangi. Aku mendongak, kulihat Dewa sudah menarik koperku. “Biar aku aja.”
“Oh, thank you…” kataku sambil tersenyum ke Dewa.
Di perjalanan, suara Acin, Billy dan Wanda memenuhi mobil. Dewa yang menyetir mobil pun hanya sesekali nimbrung jika ada namanya disebut. Sementara aku asyik mendengarkan. Kami hanya berlima di mobil; Ruben ada urusan dengan keluarganya.
“… kamu datang kesini itu pas banget waktunya, Nay!” kata Wanda. “Mau deket-deket tahun baru gini, Semarang rame banget! Apalagi kalau udah malam tahun barunya, duh… spektakuler…”
“Kamu tenang aja, Nay. Selama kamu di Semarang, kami bakalan ajak kamu ke semua tempat wisata disini. Kita wisata kuliner deh sampai perut meledak, gimana?” tanya Billy dari kursi depan.
“Bil, maaf ya. Naya nggak rakus kayak kamu,” kata Acin yang duduk disebelahku. Lalu mereka berdua akhirnya berdebat seru, sementara Wanda cuma bisa geleng-geleng, dan Dewa tetap fokus sama jalanan.
Aku melihat jalanan dari jendela.
Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke Semarang. Tiga tahun lalu aku kesini, karena ada urusan keluarga. Dan itu untuk pertama kalinya aku bisa bertemu dengan Acin, sahabatku yang kukenal dari dunia maya. Dan tahun ini, aku memutuskan untuk liburan dan tahun baruan di Semarang, tempat tinggal Acin.
Kutatap Acin, Billy, Wanda, dan Dewa yang mengobrol seru, berdebat tentang hal kecil.
Aku tersenyum kecil.
This holiday is going to be epic!

***
Kepalaku tak berhenti berputar dari tadi. Mataku terus menatap bangunan-bangunan yang kulewati, dan otakku terus merekam detail-detail kecil yang ada di kelenteng.
“Gimana? Keren nggak?” tanya Acin saat aku sibuk memfoto keindahan Kelenteng Tay Kak Sie yang ada di hadapanku.
Aku hanya mengangguk, masih terpukau. Tanganku terus membidik kamera, mencari pemandangan yang bisa kuabadikan.
Saat berkeliling di kelenteng, dan aku terus berkata ‘wow’ begitu melihat keindahan kelenteng ini. Patung-patung yang kulihat pun tak luput menyita perhatianku, menbuatku terus bertanya ke Acin maupun Wanda, Billy, Dewa, dan Ruben.
Setelah puas berkeliling di Kelenteng Tay Kak Sie, Acin dan teman-temannya kembali membawaku ke Kota Lama Semarang. Lagi-lagi aku terpukau akan keindahan arsitekturnya. Semarang memang keren banget.
Aku mengarahkan kameraku ke atap bangunan dan awan biru. Klik! Kulihat hasilnya, dan kudengar ada yang berbicara di belakangku.
“Kamu suka fotografi, ya?” Dewa sudah berada di sampingku, menatap hasil jepretanku.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Dari kelas 6 SD, sampai sekarang, ya hobiku jepret sana-sini.”
Dewa mengangguk. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, namun Billy danWanda sudah menyeretku untuk berkeliling lagi.
“Ini namanya Gereja Blenduk, usianya udah lebih dari dua setengah abad,” kata Ruben. Aku kembali mengarahkan kameraku ke bangunan didepanku.
Ruben terus menjelaskan, dan kuperhatikan Acin yang menatap Ruben penuh perhatian. Matanya bersinar begitu melihat Ruben, dan ia tertawa begitu mendengar lelucon yang dilontarkan Ruben.
Okay, there must be something with them… pikirku sambil tersenyum.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, waktunya untuk makan. Billy yang paling antusias saat menarik tanganku memasuki Toko Oen, yang kata Dewa merupakan salah satu restoran tertua di Indonesia.
Begitu masuk ke dalam, ternyata konsep lama di restoran ini tetap dipertahankan, dan rasanya seakan berjalan ke dalam lorong waktu, kembali ke masa silam.
Billy memesan banyak makanan, begitu pula dengan Acin. Tak heran Wanda disebut imut karena porsi makannya sangat sedikit. Sedangkan Ruben dan Dewa ternyata memang yang paling normal, disegala situasi.
Selesai makan, aku diajak berkeliling kota Semarang. Melihat-lihat bangunannya, mencicipi jajanan khasnya, membeli pernak-pernik yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan tak lupa ku abadikan setiap pemandangan yang kulihat dengan kamera kesayanganku.
“Sudah jam 5 sore, gimana kalau balik kerumah aja? Masih ada besok-besok buat jalan-jalan lagi,” usul Ruben.
Aku mengangguk setuju, diikuti yang lainnya.
Saat perjalanan pulang kerumah Acin, kami melewati sebuah lapangan besar, dan sangat ramai. Kebetulan sekali lampu merah, jadi aku bisa mengamati lapangan itu. Ada panggung besar ditengah-tengahnya, tanpa atap. Perhatianku langsung sepenuhnya tersita oleh lapangan itu.
Aku menoleh, menatap Acin. “Cin, itu ada apaan?” Tanganku menunjuk lapangan.
Acin melihat apa yang kutunjuk. “Oh, itu acara akhir tahun, buat nyambut tahun baru. Jadi tiga hari berturut-turut, menuju tahun baru, ada acara perayaan disana. Macam-macam, deh. Ada band, wisata kuliner, oleh-oleh, nyampur jadi satu semuanya.”
Aku mengangguk-ngangguk, masih menatap lapangan itu. Tanpa kusadari, rupanya Dewa menangkap ketertarikanku dengan lapangan itu. “Naya, kamu mau kesana?”
Aku langsung menatap Dewa lewat kaca mobil, mengangguk antusias. “Boleh, kan? Kalian belum capek, kan?” tanyaku penuh harap.
“Kita mah nggak kenal sama yang namanya capek,” kata Billy. “Lagian disana ada teman aku juga, buka stand makanan. Yuk kesana, siapa tau aku bisa dapat gratisan…”
Dewa memarkirkan mobilnya, dan aku langsung loncat dari mobil seraya memegang kameraku erat-erat.
Kurasakan dadaku berdebar. Sering sekali terjadi kalau aku terlalu senang atau antusias. Kugandeng tangan Acin dan melebur di keramaian sore itu.
Acaranya sangat seru, dan yang paling penting adalah: ramai. Banget. Aku berkali-kali memegang tangan Acin agak tidak terbawa di keramaian.
Musik terdengar lumayan keras dari panggung. Lagu-lagunya asyik semua, membuatku tambah antusias. Tawaku terus terdengar sedari tadi.
Setelah puas berjalan kesana-kemari, ikut bernyanyi di dekat panggung dan bergoyang mengikuti alunan musik, kami semua pun istirahat di stand makanan teman Billy, cukup jauh dari panggung sehingga musiknya tidak terdengar senyaring tadi.
“Nih, Naya, gulali yang kamu mau,” kata Dewa, memberikan gulali yang menjadi makanan favoritku sepanjang masa.
“Oh, makasih…” kataku seraya langsung memakannya.
Kami semua mengobrol dengan riang. Beberapa kali mengoloki Wanda yang terlalu kecil, atau Acin dan Ruben yang kelihatan cocok berdua, serta Billy yang memang sangat beruntung di bidang makanan; dia dapat gratisan dari temannya.
“… bagi-bagi dong, pelit banget!” kata Acin, mengambil minum yang dipegang Billy.
Billy mengangkat minumannya agak tidak terjangkau Acin. Kami semua tertawa, menyoraki Acin dan Billy.
Sampai akhirnya, kudengar ada suara gitar dan suara laki-laki dari arah panggung. Suaranya lembut. Aku langsung berpaling dan menatap sosok laki-laki yang berdiri di panggung, memainkan gitarnya dan bernyanyi.
Semua terjadi seperti mendadak; rasanya suara kebisingan di lapangan hilang, bahkan suara tawa Acin dan Billy hilang entah kemana. Yang kudengar di telingaku hanya suara laki-laki itu bersama gitarnya yang melebur menjadi satu, menciptakan kedamaian yang tiba-tiba kurasakan.
Kakiku melangkah tanpa kusadari, berjalan ke arah panggung. Kuabaikan panggilan Wanda yang kebingungan melihatku. Aku terus berjalan, mataku tak lepas menatap sosok itu.
Baru setengah jalan, namun ternyata di depan panggung sudah terlalu banyak orang-orang yang menikmati suara lelaki itu. Aku pun terpaksa berdiri lumayan jauh dari panggung.
“I met you today… but, oh! It feels like I already knew you, with your lovely face…” Kulihat lelaki itu sangat menikmati bermain gitar dan bernyanyi di atas panggung sana. “So, would you take my hand? I wanna know you, oh baby…”
Kuangkat kameraku, kufoto lelaki itu walaupun wajahnya tidak terlihat jelas di kameraku. Berkali-kali kufoto lelaki itu.
Sampai akhirnya, tiba-tiba hujan turun deras tanpa peringatan. Orang-orang langsung berlari, mencari tempat berteduh. Namun aku tidak bergerak sama sekali. Mataku, tetap ke lelaki itu.
Melihat kerumunan didepan panggung menipis karena hujan, aku pun langsung berjalan kesana, namun ada yang menahan tanganku.
“Naya, hujan! Ayok berteduh!”
Dewa menarik tanganku tanpa sempat kucegah. “Tapi-“
“Kita pulang aja, ya? Nanti kamu sakit…”
Selagi Dewa menarik tanganku, aku menatap panggung. Kulihat lelaki itu lekat-lekat, sebisa mungkin kuingat wajahnya walau tidak terlihat jelas dari kejauhan. Kurekam suaranya di otakku.
Hatiku berkecamuk. Baru pertama kali aku melihat lelaki yang bisa menarik semua perhatianku. Suaranya, permainan gitarnya… Terasa sempurna.
Dan mungkin untuk yang terakhir kali juga.
“But then you go… where are you going, my love? I’ve never seen someone as beautiful as you. I let you got, but my heart tells me that you will be mine, someday…”
***
Hari keempat liburanku di Semarang, namun rasanya tidak menarik seperti sebelumnya. Padahal Acin sudah mengajakku ke pantai, ke air terjun, ke beberapa tempat wisata, dan ditambah lagi Billy yang rasanya setiap detik mengajakku ke berbagai restoran atau café untuk wisata kuliner. Tapi, rasanya ada yang aneh.
Sejak sore itu, dimana aku melihat sosok laki-laki yang berdiri di panggung, memainkan gitarnya dengan sempurna, kurasakan hari-hariku tidak sama lagi. Lelaki itu entah bagaimana terus menyita perhatianku. Padahal aku baru melihatnya sekali, itupun dari kejauhan.
Aku menghela nafas. Billy langsung menatapku. “Kenapa, Nay? Nggak enak makanannya?”
Aku langsung menggeleng cepat-cepat. “Oh, enak kok, enak banget malah…” Aku tersenyum dan memakan pancake durian yang dihidangkan didepanku.
Billy tersenyum, kemudian mengobrol kembali dengan Wanda. Acin dan Ruben tertawa berdua, entah apa yang mereka bicarakan. Dan bisa kurasakan Dewa menatapku.
Sedetik kemudian, aku sudah kembali ke lamunanku. Suara lembut lelaki itu kembali terngiang di otakku, menghantuiku setiap saat. Namun wajahnya yang kabur di otakku hanya membuatku gusar; I need to meet him. Even just once again.
Tiba-tiba kurasakan ada yang menyentuh tanganku. Aku langsung tersadar, dan kulihat Dewa menatapku seraya tersenyum. “Are you okay?” tanyanya.
Aku langsung mengangguk dan memaksakan sebuah senyuman. “I’m okay.”
“Well… kata Acin, kamu kuliah di jurusan Sastra Inggris, ya?” tanya Dewa, memulai percakapan.
Mau tak mau, aku menjawab. Padahal otakku sama sekali tidak berada disini. “Iya… Kamu ambil Kedokteran, kan?”
Dewa tersenyum, mengangguk. “Iya…”
Dewa kemudian bercerita tentang kuliahnya, yang sebenarnya sangat menarik kalau saja aku sedang dalam keadaan normal. Bisa kukatakan sekarang ini aku sedang tidak normal; pikiranku terus tertuju ke lelaki yang baru kulihat sekali dari kejauhan. Bisakah dibilang normal?
“… sibuk banget, tapi aku suka. Kalau kata orang kan, sesusah apapun, sesibuk apapun, tapi kalau kita suka, semuanya jadi kerasa gampang.”
Aku mengangguk, memaksakan senyum lagi. “Then, how about you?”
Aku menceritakan kehidupan kuliahku tanpa minat. Namun walaupun begitu Dewa tetap mendengarkan dan terlihat sangat antusias. Oh, poor him.
Sebenarnya Dewa sangat sangat good looking. Setiap kali kami jalan-jalan, semua perempuan pasti menatapnya, meliriknya, bahkan menyapanya. Walau tidak kenal sekalipun. Pengetahuannya juga sangat luas; berkali-kali ia menjelaskan sejarah kotanya kepadaku saat kami mengunjungi berbagai tempat wisata di Semarang. Ia mendengarkan cerita orang dengan sangat baik, tidak pernah memotong pembicaraan orang. Itulah kesan yang kutangkap selama beberapa hari ini
Aku selesai menceritakan kehidupan kuliahku, dan kulihat Dewa tersenyum sangat manis kepadaku. Tapi, biasa saja. Tidak ada guncangan aneh di hatiku. Maka kubalas senyumnya sekenanya saja.
“Naya daritadi ceritanya sama Dewa mulu…” kata Billy. “Waduh, bahaya nih… Tau-tau nanti ada yang LDR…”
Dewa dan yang lainnya tertawa, namun aku hanya tersenyum. A fake smile again.
Lelaki itu benar-benar menguasai pikiranku.
***
Aku menatap kameraku, menatap lelaki itu yang sempat kuabadikan di kamera kemarin.
Ini hari terakhir di 2013. Harusnya aku sudah menyusun semua resolusiku bersama Acin tadi malam. Tapi yang ada, aku malah tidur cepat karena kelelahan. Dan sebagian juga karena ingin bertemu lelaki itu, walaupun hanya di mimpi. Siapa tau aku dapat petunjuk.
“Hai, lagi ngapain? Jangan bengong mulu…”
Aku menoleh dan kudapati Acin duduk di ujung kasur. “Lagi liat-liat foto liburan kemaren…”
Acin bergabung bersamaku melihat-lihat foto liburan. Sampai akhirnya, foto Dewa, dan Acin menyetopnya. “Dewa ganteng, kan, Nay?”
Kutatap foto Dewa yang sedang tertawa lepas. “Ganteng.”
“Suka dong sama dia?” tanya Acin sambil tersenyum penuh arti. “Kalian juga dekat banget akhir-akhir ini.”
Kuhela nafas. Acin menatapku bingung. “Loh, kenapa?”
“Kamu nggak ada niatan buat nyomblangin aku sama dia, kan?” tanyaku. Wajah Acin langsung berubah, dan aku tau jawabannya.
“Kalian berdua cocok banget, kok. Seriusan, deh. Dewa ganteng, kamu cantik. Kalau ngobrol juga nyambung, kan? Dia care banget sama kamu, dia pasti suka sama kamu, Nay!” kata Acin.
“Tapi aku nggak ngerasain apa-apa ke dia, Cin…” kataku. Acin ternganga. “Rasanya nggak ada apa-apa. Jantung aku nggak berdebar cepat waktu dekat dia, aku nggak senyum-senyum sendiri kalau ngingat dia. Nggak kayak kamu yang ngeliat Ruben. You like him, don’t you?”
Acin terdiam. “No, I don’t like him… But I love him,” kata Acin. Aku terkejut. “Sudah 3 tahun kami bareng, tapi dia nggak pernah sadar.”
Aku memeluk bahu Acin, berusaha menyemangatinya. “Mungkin belum waktunya…”
Acin tersenyum. “Okay, forget it. Jadi, kamu nggak suka sama Dewa?”
Aku menggeleng. “Ada orang lain yang sudah ada disini.” Kutunjuk hatiku, dan Acin langsung heboh.
“Astaga, siapa? Siapa, Nay? TELL ME NOW OR I WILL KILL YOUUU!”
***
Malam tahun baru, pukul 23:00
Aku memakan jagung bakarku sambil mendengarkan cerita Billy dan Wanda. Sesekali kurapatkan jaketku; angin malam ini berhembus lumayan kencang.
Acin mengajakku menghabiskan malam tahun baru di alun-alun Kota Semarang. Ia bilang kami akan makan jagung bakar, dan jam 12 nanti akan ada kembang api yang sangat besar. Tertarik, aku pun setuju.
Maka, disinilah aku sekarang. Menikmati malam tahun baru bersama Acin, Wanda, Billy, Ruben, dan Dewa. Omong-omong tentang Dewa, kurasa ia sudah tau dari Acin kalau aku hanya menganggapnya teman. Tapi untungnya ia tetap bersikap menyenangkan seperti sebelumnya.
10 menit lagi angka tiga berubah menjadi angka empat; 2013 ke 2014. Aku dan yang lainnya berkumpul ditengah alun-alun kota, mengobrol sambil menunggu jam 12 malam. Ada layar besar yang dipajang disana, menampilkan berbagai sudut kota Semarang di tahun ini.
Aku sedang asyik mengoloki Acin dan Ruben yang nampak malu-malu berdua. Kulihat tangan mereka saling bertaut. Aku memekik girang dalam hati, akhirnya Acin tidak harus menunggu lagi. Sampai akhirnya…
Kudengar petikan gitar dan suara lembut itu lagi. Jantungku rasanya langsung berhenti. Kuedarkan pandangan, mencari sumber suara itu. Ternyata dari arah kanan.
Aku berjalan menerobos kerumunan orang, semakin dekat dengan suara lelaki itu. Aku hapal betul dengan suaranya, tidak mungkin aku salah. Ya, itu pasti dia.
Kuhentikan langkahku begitu melihat beberapa pemuda yang berkumpul dekat pohon. Dan disanalah ia, berdiri dengan gitarnya. Ia bernyanyi dengan suaranya yang lembut itu.
Kutatap laki-laki itu; rasanya seperti mimpi bisa mendengar suaranya lagi.
Sampai akhirnya, mata lelaki itu bertemu dengan mataku. Ia masih memetik gitarnya, namun ia berhenti bernyanyi. Sampai akhirnya ia menghentikan permainan gitarnya dan berjalan ke arahku.
Kami berdiri berhadapan, saling menatap. “Hai…” sapanya. “I think I know you before…”
Aku tersenyum, terus menatapnya walau bingung. He knew me?
“Ah! Kamu yang berdiri di depan panggung waktu hujan-hujan, kan? Acara akhir tahun di lapangan besar kemaren?”
Aku mengangguk. “Kamu tau aku?”
Ia tersenyum, mengangguk. “Waktu aku tampil kemaren, I just have you in my eyes. Kamu beda dari yang lain, kamu bisa rasain musik yang aku bawain.”
Aku tertawa. Bagaimana dunia bisa berputar secepat ini. Beberapa detik yang lalu, lelaki ini menghantui pikiranku, membuatku gelisah tak karuan, namun sekarang? Ia berdiri dihadapanku.
“Sepuluh… sembilan… delapan… tujuh…”
Aku menatap sekeliling. Rupanya sudah hitung mundur. Aku pun berseru, ikut hitung mundur seraya menatap langit. Kulihat ia juga melakukan hal yang sama denganku.
“Empat… tiga… dua… satu…”
Langsung saja langit dipenuhi oleh kembang api.  Aku pun tertawa, dan kurasakan ada yang menyalami tanganku.
“Happy New Year. Aku Glen.”
Glen menyalami tanganku, tersenyum manis.
“Happy New Year too. Aku Naya.”
Siapa yang menyangka kalau liburanku ke Semarang kali ini membawaku bertemu dengan seorang laki-laki bersuara lembut bernama Glen?
Siapa yang menyangka kalau di awal tahun 2014 ini aku akan menghabiskan waktuku untuk berkomunikasi dengan Glen?
Dan Billy benar. Ada yang LDR. Ada hubungan jarak jauh, antara aku dan…
Glen!

You May Also Like

1 komentar

  1. Ini Keren. Don't know what to say. Unpredictable tau akhirnya naya gajadi sama Glen. Haha.

    BalasHapus

For More