Cinta Itu Sederhana

by - 22.02

Hai everyone! Ini cerita bikinnya lumayan sebentar hehe. Padahal mau di post di thumbstory, cuma kepanjangan. Yaudah post disini duu. Enjoy! :D
Kalau aku bilang cinta itu sederhana, apa kamu akan percaya?
***
Aku duduk di cafe favoritku seperti biasa. Meja yang sama, bersebelahan dengan jendela, setiap harinya. Seperti hari-hari sebelumnya, aku sedang menikmati Vanilla Latte yang kupesan tadi. Namun sepertinya hari ini ada yang berbeda disini.
Pintu cafe terbuka. Masuklah seorang pria yang beberapa kali memang terkadang datang kesini.
Kulihat ia duduk di sudut cafe, membawa buku-bukunya yang terlihat sangat berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah menekuni buku itu, hanyut didalamnya.
Aku sendiri kembali meminum Vanilla Latteku seraya melihat ke luar jendela. Menatap hujan yang turun, dan mengawasi berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang saat hujan menerpa.
Aku menghela nafas. Inilah hidupku sehari-hari sejak kepergiannya.
***
Aku memasuki cafe pagi ini, membawa setumpuk kertas-kertas yang harus kuselesaikan dengan menuliskan puisi di atasnya.
Begitu aku baru mau melangkahkan kaki ke meja yang seperti biasa kutempati, kulihat ada seorang pria yang sudah duduk disana.
Aku segera bergegas kearah meja kasir, mendatangi Max-pelayan yang sudah jadi temanku sejak pertama kali menginjakkan kaki dicafe ini.
"Max," sapaku. Kulihat Max mendongak menatapku, tangannya sibuk menyusun gelas-gelas. "Kau lihat disana? Ada pria yang duduk ditempatku."
Max menatap pria itu, lalu menatapku. "Alice, pria itu pengunjung disini, berhak duduk dimana saja."
Aku memutar bola mataku. "Max, kau tahu itu tempat favoritku sejak dua tahun lalu."
Max kemudian tersenyum begitu mendengar suaraku yang memelas. "Oke, baiklah, Al. Bagaimana kalau kau datang kesana, dan bilang saja padanya?"
Aku menatap Max sejenak. "Baiklah. Kalau pria itu marah, kau yang harus bertanggung jawab!"
Seusai berkata begitu, aku pun segera berjalan ke meja yang biasa kutempati. Begitu sampai disana, kusadari bahwa pria yang berada didepanku adalah pria yang sering duduk disudut cafe, dengan buku-bukunya yang tebal.
Aku berdeham-deham. Namun pria itu masih membaca bukunya. Baiklah,tidak ada pilihan lain.
"Err, permisi, Tuan," kataku. Pria itu langsung mendongak, dan baru pertama kalinya aku melihat wajah pria itu secara dekat setelah setahun ini.
Wajahnya kecil, matanya pun begitu-dengan warna cokelat pekat, matanya terlihat sangat hangat. Wajahnya putih bersinar, dan bibirnya merah. Rahangnya keras. Singkatnya, pria ini sangat menarik, kalau saja aku sedang tidak dalam keadaan terdesak.
"Ada apa?" Suaranya terdengar tidak asing ditelingaku.
"Kurasa kau sudah pernah melihatku sebelumnya, aku pun begitu terhadapmu. Kau selalu duduk di sudut sana-" Kutunjuk meja di sudut cafe. "-bersama buku-bukumu yang tebal. Dan aku yakin kau pun tau kalau tempat yang kau duduki sekarang ini adalah tempatku."
Pria itu menatapku tepat dimata, membuatku sedikit gemetar. Namun kemudian ia berkata, "Bukannya pengunjung bisa duduk dimana saja?"
Aku terdiam sebentar. "Tentu saja, tapi toh ini tempatku selama dua tahun. Dan kenapa kau tiba-tiba duduk disini?"
Pria itu terkekeh. "Baiklah, Nona. Bagaimana kalau kau duduk saja disini, kursi di meja ini toh ada dua."

Karena tak ada pilihan lain, dan kalau saja aku tidak dikejar waktu, tidak mungkin aku akan duduk disini, berbagi meja dengan pria asing.
Aku menaruh kertas-kertas ku yang baru terisi setengah, lalu mulai menulis seraya sesekali melihat keluar jendela. Menatap hujan yang turun perlahan.
5 menit berlalu, namun satu paragraf pun belum berhasil kuselesaikan. Aku menghela nafas tepat pada saat Max datang.
"Oh, jadi sekarang dua pengunjung setia cafe ini berbagi meja? Jadi, setelah satu tahun, apa kalian sudah berkenalan?"
Aku menatap Max geram. "Max, akan kutunggu kau sampai jam kerjamu sudah selesai."
"Bukankah kau harus segera menyelesaikan puisi-puisi mu? Jam lima sore nanti deadlinenya kan? Jamku berakhir pukul 9 malam, Al."
Aku menahan kekesalanku sementara Max tertawa, sampai akhirnya kudengar pria itu berbicara. "Puisi? Kau menulis puisi?"
"Ya, kenapa?" tanyaku langsung.
Pria itu mengambil salah satu kertasku, kemudian membacanya. Beberapa lama kemudian, ia menatapku, dan tersenyum untuk pertama kalinya.
"Menarik, kau memang berbakat." Aku menaikkan alisku. "Puisi mu hidup, menyentuh."
Perkataan pria tadi langsung membuatku memutar balik kejadian tiga tahun lalu. Masih jelas dipikiranku, pria itu, dengan senyum khasnya, memegang semua kertas puisiku, dan ia bilang puisiku hidup.
Aku tertegun, menatap pria didepanku tanpa berkedip. Hingga akhirnya kurasakan sentuhan ditanganku, dan aku terlonjak.
"Alice, sambut uluran tangannya!"
Aku tersadar. Kulihat pria itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. "Namaku Alex."
Perlahan kusambut uluran tangannya. "Alice."
"Karena kalian berdua sudah berkenalan, apa kalian mau memesan?" tanya Max.
"Seperti biasa, Max."
Aku dan Alex langsung bertatapan, kaget ketika kami berdua mengucapkan kalimat yang sama, disaat yang bersamaan pula. Aku tertawa kecil, diikuti Alex dan Max.
Max pun berlalu setelah mengedip kepadaku penuh arti-entah apa artinya. Sekarang, aku dan Alex saling menatap, bingung harus berkata apa.
"Jadi, sudah berapa lama kau menulis semua ini?" Tangan Alex menunjuk kertas-kertasku.
"Lima tahun terakhir ini, aku bekerja disebuah majalah. Editor sekaligus penulis puisi di rubrik majalah."
Alex mengangguk. "Puisi mu menarik, hidup, menyentuh," ucap Alex. "Oh, tunggu. Apa kau menulis untuk Sun Magazine?"
Aku terkejut. "Bagaimana... bagaimana kau tahu?"
Alex melihatku takjub, namun ekspresinya langsung berubah lagi beberapa detik kemudian. "Sudah kuduga, sudah kuduga. Ternyata selama ini puisi yang kubaca setiap harinya adalah puisimu..."
Selama lima tahun bekerja di Sun Magazine, tidak pernah ada orang luar yang mengetahui siapa penulis puisi di halaman terakhir. Aku memang tidak pernah mau mencantumkan nama asliku; aku hanya memberi inisial di akhir puisiku, Al.
Selama lima tahun itu, hanya ada satu orang yang tau. Orang yang sangat kusayangi, dan kukagumi sejak pertama kali bertemu. Tiga tahun bersamanya, namun setelah itu ia pergi, entah kemana. Tidak pernah kembali.
Aku menatap Alex yang sekarang tersenyum. "Alex, bagaimana kau tahu?"
"Tidak penting bagaimana aku tahu, Alice. Yang jelas sekarang, kenapa dua tahun belakangan ini puisi mu selalu sedih? Selalu berakhir tragis?"
Pertanyaan Alex membuat badanku membeku seketika. Aku langsung mengalihkan pandangan dari wajahnya yang ingin tahu ke jendela, kembali menatap hujan.
Tentu saja puisiku dua tahun terakhir ini selalu sedih, selalu tragis.
Kepergiannya membuatku tak berdaya.
***
Aku meletakkan tasku di kasur sembarangan, kemudian duduk di sofa yang menghadap jendela. Menatap langit sore berwarna keunguan yang bercampur dengan hujan.
Sudah satu minggu berlalu, dan selama itu pulalah aku selalu duduk berhadapan dengan Alex, pria yang sebenarnya sudah sering kulihat selama satu tahun di cafe.
Alex terus menemaniku selama membuat puisi, dan selalu memegang dadanya begitu selesai membaca. Kutanya kenapa, ia bilang karena tersentuh. Selebihnya, Alex ternyata teman yang menyenangkan untuk diajak mengobrol. Dan tak cuma itu, kalau dilihat-lihat, Alex menarik juga...
Aku tertegun. Oh, Alice, apa yang barusan kau pikirkan? Alex teman, tidak lebih. Itu saja.
Tapi... melihat senyum Alex yang begitu menawan, menatap matanya yang cokelat dan hangat, mendengar suaranya yang menenangkan, serta kejadian tadi sore yang menggetarkan relung hatiku.
"Hujan, seperti biasa. Kau yakin mau pulang sekarang?" tanya Alex begitu kami berdua keluar dari cafe.
Aku mengangguk. "Aku harus pulang, masih banyak artikel yang harus kuedit dirumah."
Dan kulihat dari sudut mataku, Alex membuka jaketnya kemudian menyelubungkannya di atas kepalaku. Aku segera menoleh dan menatap Alex. "Alright, let's go home now!"
"Eh, tapi kau akan kehujanan," kataku.
"Its okay, yang penting kau tidak kehujanan. Jangan sampai kau sakit."
Jadi, dengan jaket Alex menutupi kepalaku, ia mengantarkanku pulang sampai depan apartemen. Dan selama berjalan, tangannya yang hangat itu selalu menggandeng tanganku.
Aku bergerak disofa, tersenyum sendiri mengingat wajah Alex. Sampai akhirnya mataku menangkap sebuah foto yang selalu kupajang di meja belajar.
Aku berjalan mengambil foto itu, kemudian duduk lagi di sofa, menatap foto itu.
Seorang pria dengan sweter birunya-kesukaanku-tersenyum ceria sambil memeluk seorang wanita yang jauh lebih pendek daripadanya, dengan rambut sebahu, sama-sama tersenyum ceria.
Itu aku, dan Keenan, temanku. Entah kami teman atau lebih, Keenan tidak pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Padahal kami berdua benar-benar dekat, bahkan semua teman-temanku mengira bahwa Keenan adalah pacarku. Namun, aku tidak pernah tau bagaimana perasaannya terhadapku, karena ia pergi meninggalkanku begitu saja tanpa kabar.
Pertama kali bertemu dengan Keenan, aku tahu ia berbeda, dan belum apa-apa aku sudah kagum padanya. Pertemuan pertama terjadi di sebuah cafe kecil didekat kantorku. Waktu itu kulihat ia sedang mengobrol dengan teman-temannya, dan tiba-tiba aku tak sengaja menumpahkan Vanilla Latteku saat kami berdua berpapasan. Keenan bukannya marah malah tersenyum. Dan sejak saat itulah, kami berkenalan. Setial hari kami bertemu, membantuku melewati masa-masa sulit tahun pertama bekerja di Sun Magazine
Tahun-tahun bersama Keenan tentu saja menyenangkan; Keenan sosok yang sempurna. Walaupun status kami hanya teman, biar sajalah. Yang penting ia selalu ada bersamaku.
Dan hari itu tiba. Aku menunggu didepan apartemen seperti biasa, menunggu Keenan menjemputku. Namun, sampai satu jam kemudian ia tak kunjung datang. Membuatku khawatir. Kutelepon ponselnya, tidak aktif. Satu hari yang gelap tanpa Keenan. Hingga saat ini, dua tahun berlalu, Keenan tidak pernah datang lagi.
Kutatap wajah Keenan yang tersenyum di foto. Aku tersenyum kecil. "Keenan, ada seseorang yang mirip denganmu. Alex bilang puisiku hidup, sama seperti yang kau katakan."
Tanpa kusadari air mata meluncur mulus dari sudut mataku. Segera kuseka perlahan, namun rupanya air mata itu tidak berhenti mengalir.
Keenan, rindu bahkan tidak cukup mewakili perasaanku selama dua tahun ini.
***
"Alice!"
Aku baru saja menutup pintu apartemen, ketika kulihat Alex sudah berdiri didepan bersama sepeda dan sebuket bunga yang ia pegang.
Senyum langsung mengembang di wajahku. Aku berlari menghampiri Alex yang sudah merentangkan tangannya untuk memelukku.
Berada di pelukan Alex saat cuaca dingin seperti pagi ini rasanya sangat menyenangkan. Sebentar saja aku sudah lupa apa tujuan awalku keluar dari apartemen dihari Minggu ini.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku seraya melepaskan pelukan Alex.
Alex tidak menjawab, melainkan memberiku sebuket bunga dengan pita pink tersemat didalamnya. Aku tertawa kemudian mengambilnya. "Bunga spesial untuk orang yang spesial."
"Terima kasih, Alex. Aku tidak pernah menerima bunga sepagi ini."
Alex tersenyum. Dan seperti biasa, senyumnya bisa menggetarkan hatiku. "Jadi, Al, bagaimana kalau kita berjalan-jalan hari ini?"
"Jalan-jalan?" tanyaku. Alex segera mengangguk. Wajahnya penuh harap. "Baiklah, sebaiknya aku ganti baju dulu. Lebih baik kau tunggu didalam, ayo."
Aku dan Alex memasuki apartemenku. Aku segera masuk kamar dan berganti baju secepat kilat. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai dan kudapati Alex sedang memegang fotoku bersama Keenan.
"Alex," panggilku. Namun Alex bergeming. Kulihat matanya masih terpancang pada foto itu. "Alex."
Alex membalikkan badannya, kemudian segera tersenyum begitu melihatku. "You look beautiful. Lets go!"
Alex langsung menggandeng tanganku keluar dari apartemen dan kami berdua berjalan menghampiri sepedanya. "Kau tidak keberatan kalau kita naik sepeda saja?"
"Tentu saja tidak. Naik sepeda jauh lebih menyenangkan!"
Beberapa menit kemudian, aku dan Alex sudah menikmati pemandangan kota Paris dengan bersepeda. Tanganku memegang baju Alex erat sementara ia mengayuh sepedanya sambil tersenyum. Belum pernah kulihat senyumnya seriang itu.
Puas melihat-lihat, dengan udara pagi yang khas menerpa wajah kami, Alex pun berhenti mengayuh dan memarkirkan sepedanya di pinggir taman kota.
Alex menarik tanganku antusias begitu menginjakkan kaki di rumput yang begitu hijau. Kami disambut dengan gelembung sabun yang melayang-layang, ditiup oleh beberapa anak kecil, lalu banyak sekali layang-layang yang menghasi langit, bertebaran dimana-mana serta berwarna-warni.
Alex rupanya sudah menyiapkan semuanya. Kulihat ada kotak piknik yang terletak didepan danau dengan pepohonan berjejer rapi dibelakangnya.
"Baiklah, sepertinya kau sudah menyiapkan semuanya?" tanyaku, menahan senyum.
"Bagaimana? Kau suka piknik, kan?" tanya Alex sambil menatap mataku.
Tentu, tentu saja aku suka piknik. Dulu setiap akhir minggu setiap bulan Keenan selalu mengajakku piknik di taman kota yang lain.
Alex menarik tanganku, dan mendudukkanku di tikar yang sudah ia siapkan. Kubuka kotak piknik itu, dan tercengang.
Isinya cupcake vanilla favoritku, dan didunia ini hanya satu orang yang tau tentang ini: Keenan. Apa cuma kebetulan Alex menyiapkan ini?
Kuambil cupcake vanilla itu dan memakannya. Bahkan aku masih ingat cupcake vanilla buatan Keenan; rasanya persis seperti ini.
"Kau suka? Aku membuatnya tadi subuh," kata Alex, mengamati wajahku.
Aku menatap Alex lama. "K-k-kau membuatnya sendiri?"
"Tentu saja. Kenapa? Apa rasanya aneh?"
Aku segera menggeleng dan memakannya kembali, berusaha terlihat biasa saja."Cupcakenya enak, ini kesukaanku."
Selanjutnya, kami berdua berbaring bersebelahan sambil menunjuk langit. Menunjuk layangan yang terbang, dan sesekali berkomentar tentang bentuk awan yang tidak biasa.
Menyenangkan sekali bersama Alex. Setiap detik rasanya berharga. Menatap matanya, tertawa dengannya, merasakan hangat tangannya ketika menggenggam tanganku.
Kurasa, aku sudah menemukan pengganti Keenan yang hilang entah kemana itu. Mungin belum sepenuhnya Keenan terhapus dari hati dan pikiranku, namun Alex tau bagaimana caranya untuk selalu membuatku tersenyum.
***
"Ah, it seems like today is about to end..." bisikku pelan ketika kami berdua berjalan beriringan. Satu hari sempurna lagi bersama Alex. Ia membawaku berkeliling kota Paris lagi, kali ini dengan berjalan kaki. Dan anehnya aku tidak merasa kelelahan sama sekali.
Sudah 3 bulan berlalu, aku dan Alex semakin dekat. Selalu bertemu setiap hari, dan ia tidak pernah absen untuk mengucapkan 'selamat malam' kepadaku lewat telepon.
Sepenuhnya, perasaanku hanya untuk Alex. Keenan perlahan-lahan menghilang dari hatiku. Syukurlah, jadi aku tidak harus terus terpaku dengan masa lalu.
Dan sore ini untuk pertama kalinya Alex memintaku untuk singgah sebentar dirumahnya. Ia bilang ada yang ia ingin berikan padaku. Entah apa.
"Alright, this is my home..." kata Alex. Rumahnya tidak terlalu besar, namun ada daya tarik tersendiri, membuatku terpana.
"What a lovely house..." gumamku. Kemudian Alex menarik tanganku dan kami berdua masuk ke dalamnya.
"Okay, Al, tunggu disini. Aku mau mengambil sesuatu di lantai dua," kata Alex sambil terbatuk pelan. Akhir-akhir ini entah kenapa Alex terlihat kurang sehat. Kurasa karena pengaruh cuaca. Paris akhir-akhir ini dingin sekali.
Aku menatap sekeliling. Di ruang tamu ini banyak sekali barang-barang antik, pernak-pernik, dan miniatur bangunan-bangunan terkenal dari seluruh dunia.
Lalu mataku menangkap sederet foto yang terletak di sudut kanan. Aku tersenyum kemudian memutuskan untuk melihat-lihat.
Foto pertama dengan frame hitam, Alex kecil. Mungkin umurnya masih 4 tahun atau lebih; wajahnya imut sekali. Foto kedua membuatku tertawa lumayan keras. Foto Alex sedang menangis karena mainannya direbut oleh seorang bocah laki-laki yang kebingungan. Foto ketiga, kutebak adalah orang tua Alex. Ibu Alex tersenyum tipis, wajahnya wajah Asia, sementara Ayah Alex hanya menatap datar ke kamera.
Selama ini Alex tidak pernah menyebut-nyebut keluarganya. Sedikit pun. Ia hanya menanyaiku, selalu tentangku. Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk menanyainya karena selalu saja Alex menghindar.
Foto selanjutnya, seorang remaja pria memegang piala dengan seragam basketnya. Mungkin ini saudara Alex... Kulihat lagi foto yang lain. Banyak foto Alex dengan saudaranya itu. Bisa kupastikan semua momen mereka sepertinya harus diabadikan.
Hingga ujung meja panjang, masih foto Alex dan saudaranya ketika masih remaja, lalu mulai beranjak dewasa. Kurasakan perlahan aku mengenali wajah saudara Alex sampai akhirnya foto selanjutnya membuatku terpekik.
Foto Alex dengan Keenan. Keduanya berangkulan dan tersenyum lebar. Keenan masih terlihat sangat muda. Mungkin setahun sebelum aku bertemu dengannya.
Aku menahan nafas. Bagaimana mungkin... Keenan? Alex dan Keenan?
Foto selanjutnya, Keenan yang sangat kukenal dengan Alex. Pesta ulang tahun, malam tahun baru, makan malam bersama keluarga... hingga lima foto terakhir membuat jantungku rasanya berhenti berdetak.
Fotoku, dengan Keenan. Foto pertama, yang masih tergambar jelas di ingatanku, ketika Keenan memberi surprise ulang tahunku di kantor. Foto kedua, waktu kami liburan ke London, berpose didepan Big Ben. Foto ketiga, malam tahun baru. Kulihat Keenan memelukku erat saat kembang api menghiasi langit malam.
Tanganku gemetar begitu memegang foto keempat. Foto Keenan saat menatapku. Saat kami berada di pantai. Dan tatapan matanya...
Mata Keenan yang selalu kurindukan. Sinar matanya yang berkilau. Matanya yang hangat.
Kutahan air mataku agak tidak tumpah. Namun foto kelima menghancurkan semuanya; air mataku meluncur dan kurasakan hatiku remuk seketika.
Keenan yang memelukku didepan Eiffel Tower, saat sunset. Itu merupakan momen terakhirku dengan Keenan sebelum akhirnya ia pergi.
Keenan tertawa lebar di foto itu dan wajahku pun terlihat sangat bahagia. Tapi entah siapa yang memotretnya, karena kami berdua seperti tidak sadar saat difoto.
"Al?"
Sebuah suara dari belakang membuatku tersadar. Aku membalikkan badan, kulihat Alex berdiri di depanku. Wajahnya tidak terlihat kaget saat melihatku menangis.
"Alex, siapa Keenan?" tanyaku sambil menjukkan fotoku dan Keenan yang terakhir tadi.
Alex melangkah maju, wajahnya terlihat sangat pasrah. Dan sedikit pucat. "Al... Keenan itu kakakku."
Aku segera menggeleng, terlalu kaget dan terlalu takut untuk mencerna perkataan Alex. "Tidak... mungkin."
"He's my brother," jawab Alex singkat.
"Dimana Keenan? Kenapa ia pergi?" tanyaku nyaring, berusaha menahan tangis.
Alex mendekat, tapi aku segera mundur kebelakang. "Stay away from me!" pekikku histeris. Alex membeku ditempatnya. "Jadi, selama ini kalian berdua menyusun rencana untuk menyakitiku, ya? Rencana yang bagus, karena itu berhasil. Keenan pergi dan apa yang kudapat? Aku menangis setiap malam, berharap ia kembali. Namun bahkan sedetik saja ia tidak tampak dihadapanku!"
Aku menangis lebih keras lagi. "Lima tahun sudah berlalu, dan sekarang kau datang! Kukira kau akan membuatku lebih bahagia-lebih hidup. Tapi kau bilang kau saudara Keenan, apa maumu, Alex? Kau akan meninggalkanku juga seperti saudaramu itu?"
Kudengar Alex menghela nafas berat. "Al, dengarkan aku..."
Fakta bahwa Alex dan Keenan adalah saudara membuatku seperti dihantam ke tembok. "Dimana Keenan?" tanyaku. Namun Alex diam. "Dimana dia sekarang?"
Alex mengulurkan sebuah amplop berwarna coklat lembut. "Ambil ini, baca semuanya. Kau tidak akan bertanya lagi setelahnya."
Ku ambil amplop itu dengan ragu-ragu.
Hening di antara kami berdua. Aku masih sibuk memikirkan semua kejadian yang mendadak terjadi sore ini. Alex saudara Keenan, dan aku mencintai mereka berdua... Kurasakan hatiku seperti dipermainkan.
"Al, lebih baik kau pergi sekarang. Aku tidak membutuhkanmu lagi."
Aku menatap Alex, terkejut. Badanku langsung membeku dan bulir air mata berjatuhan seketika.
"Tapi kurasa itu tidak penting lagi sekarang. Toh kau akan berkata hal yang sama begitu tau bahwa Keenan saudaraku. Waktuku akan segera habis, dan kau sudah dapat apa yang kau tunggu selama ini. Kejelasan." Alex menunjuk amplop yang kupegang.
"Kenapa kau baru memberi tahuku tentang Keenan sekarang? Kenapa tidak dari dulu-dulu?"
"Semua... ada waktunya. Dan sore ini waktu yang paling tepat," kata Alex tenang. Namun kuperhatikan wajahnya semakin pucat tertimpa matahari sore. "Kurasa, ini pertemuan terakhir kita. Jadi... selamat tinggal, Al."
Aku menatap Alex, marah. "Baiklah. Terima kasih untuk kebohonganmu selama ini. Kukira kau tulus dekat denganku." Suaraku bergetar.
Aku keluar dari rumah Alex dan menangis sepanjang jalan menuju apartemenku.
Tidak kusangka Alex setega itu.
***
Kubuka perlahan amplop coklat itu. Kukeluarkan surat yang sangat tebal dan berlembar-lembar. Namun begitu melihat tulisan tangan Keenan yang sangat kukenal, kulupakan yang lain dan mulai membaca.
Dear Aliceku tersayang,
Ketika kau membaca surat ini, maka aku yakin bagian diriku di hatimu akan terbangun lagi, walaupun mungkin hanya sedikit. Tapi, kalau tidak sama sekali, maka maafkan aku yang sudah sangat percaya diri ini.
Aku tertawa lalu air mataku terjatuh. Keenan ini tetap Keenan yang kukenal, Keenanku yang konyol.
Alice, ada banyak hal yang harus kukatakan padamu. Sayangnya aku tidak punya waktu banyak. Waktuku terbatas, waktu kita terbatas. Jadi, harus dimulai darimana aku bercerita?
Pertama kali aku bertemu denganmu, aku tau bahwa kaulah orangnya. Wanita yang akan membuatku tersenyum sepanjang waktu. Wanita yang akan kurindukan suara dan tawanya. Wanita yang akan menimbulkan getaran dalam hati saat aku memegang tangannya. Wanita yang akan kucintai sepanjang hidupku.
Wanita itu kau, Alice.
Lalu seakan sudah disetting, aku mengenalmu. Percakapan pertama kita, tawa pertama yang kudengar darimu, senyummu yang membuatku hingga lupa bernafas, liburan pertama kita, pelukan pertama, bunga pertama, hadiah-haiah pertama. Semua sudah kita lewati.
Tahun-tahun terindah dalam hidupku adalah saat bersamamu, Al.
Sayangnya, selama bertahun-tahun itu pulalah aku tidak pernah punya keberanian untuk mengatakan kalau aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.
Mungkin kita selalu bersama, dan teman-temanmu bilang kalau kita adalah pasangan. Tapi nyatanya kita hanya teman.
Aku tidak pernah berani mengatakan perasaanku kepadamu karena aku tau bahwa hubungan kita tidak akan bertahan lama. Bukan karena aku akan bosan, atau kau akan tertarik pada yang lain (lagi-lagi aku minta maaf kalau saja mungkin kau suka dengan orang lain, bukan denganku) tapi karena-oh bagaimana harus kukatakan. Bahkan pada surat pun aku tidak berani mengatakannya.
Aku sakit, Aliceku. Bertahun-tahun denganmu, aku selalu bisa menyembunyikannya dengan baik. Itulah kenapa aku tidak pernah membawamu kerumah; kau akan melihat semua obat-obatku, perawatan khususku, dan terlebih lagi Ayahku melarang untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Karena Ayah tau, akan sakit bagiku, apabila harus berpisah nantinya dengan orang yang kusayangi itu. Tapi Ayah tidak pernah tau bahwa aku mencintai wanita bernama Alice, meski hanya teman. Tidak lebih.
Tahun terakhir kita bersama, saat itulah kurasa waktuku akan habis. Apa kau masih ingat suratku waktu itu, bilang bahwa aku ada proyek di Afrika, dan aku pergi selama dua bulan? Aku bohong, Al. Aku tidak ke Afrika, aku tetap satu kota denganmu, tetap satu bahasa, tetap Paris.
Transplantasi ginjal yang awalnya dikira berhasil, malah membawa dampak buruk. Kukira dengan dua ginjal yang berfungsi baik akan membuatku sehat kembali, dan bisa membawaku padamu. Tapi aku salah. Keadaanku bertambah parah.
Maka, setelah dua bulan pemulihan, aku pun berpura-pura pulang dari Afrika begitu bertemu denganmu. Melihat wajahmu yang bersinar penuh harapan membuatku takut; waktuku hampir habis.
Lalu aku pun menghilang dari hidupmu. Aku menghabiskan waktuku di rumah sakit, bertanya-tanya setiap hari apa yang sedang kau lakukan, apa kau sudah makan, dan bagaimana pekerjaanmu.
Puisimu selalu kubaca. Kugunting dan kutempel di buku catatanku. Puisimu yang biasanya ceria berubah menjadi kelam, menderita.
Dan sekarang, aku menulis surat ini di taman rumah sakit. Alex-adikku, baru saja membelikanku Sun Magazine. Aku langsung menggunting puisimu, namun kurasa tidak cukup. Maka kutulis ulang puisi mu di bukuku. Bagian yang kusukai:
'Rasanya aku kehilangan oksigen, kehilangan arah. Tidak ada seorang pun yang bisa membawaku kepadamu.
Tolong kembali padaku, kumohon
Firasatku berkata kau akan kembali namun pergi...'
Alice, lebih baik kukatan sebelum terlambat.
Alice, aku mencintaimu. Sejak pertama kali kita bertemu, sejak kau menabrakku dengan Vanilla Latte itu, sampai sekarang. Sampai nafasku tidak berada disini lagi. Semua hal kecil tentang dirimu selalu tersimpan rapi di memoriku.
Alice, maukah kau menjadi pacarku?
Sudah kukatakan semuanya, Aliceku.
Satu hal lagi. Aku tidak pernah mengatakan selamat tinggal secara langsung kepadamu, karena aku tau aku masih punya sedikit waktu. Tapi untuk yang kali ini, untuk bernafas saja sulit.
Aliceku, selamat tinggal. Aku mencintaimu, selalu.
Keenan.
"Keenan... Keenan... Keenan..." ratapku.
Kurasakan oksigen habis di kamarku. Nafasku tersendat, dan air mataku terus mengalir tanpa henti. Mengalir seiring kata-kata yang dituliskan Keenan disuratnya.
Keenan bodoh. Kenapa ia tidak pernah bilang? Kenapa ia tidak jujur saja? Aku tentu tidak akan meninggalkannya karena penyakitnya. Tidak sedikitpun.
Namun semuanya terlambat. Keenan... Keenan pasti sudah pergi.
Badanku gemetar begitu memikirkan itu. Kutaruh surat itu di meja, kemudian terisak keras. This is hurting me so much.
Mataku yang penuh air mata kemudian menangkap amplop yang belum selesai kuteliti isinya. Kuambil, dan kukeluarkan selembar foto.
Keenan memfoto dirinya dengan kumpulan puisiku di pangkuannya. Ia terlihat sangat pucat, wajahnya lelah, tapi senyumnya tidak berubah.
Kurasakan seperti ada yang menusuk-nusuk hatiku begitu dalam.
Malam itu kuhabiskan dengan menangis, hingga pagi menjelang pun aku masih menangis. Meratapi nasib. Meratapi Keenan.
Ku ambil amplop cokelat itu dan ada yang meluncur keluar. Kulihat secarik kertas kecil.
Keenan mungkin sudah pergi. Namun aku datang, dengan tujuan menjagamu, membawa senyum dan tawa kembali kehidupmu.
Dan dengan harapan aku bisa tetap tinggal selamanya denganmu.
Aku terisak kecil, namun isakanku langsung berhenti begitu tau bahwa itu tulisan tangan Alex.
***
"Al, kau mau Vanilla Lattemu sekarang?"
"Tidak, Max."
"Bagaimana dengan onion ring kesukaanmu?"
"Tidak, Max."
"Red Velvet? Macaroon? Oreo Cake with Vanilla? Burger? Sushi?"
"Tidak, Max, terima kasih, aku kenyang."
"Kau bahkan belum ada makan sejak kau datang disini dari pagi. Ini sudah pukul enam, dan kau bilang kau kenyang? Ayolah, Al!"
Aku tidak menghiraukan Max yang terus membujukku untuk makan. Aku tidak tertarik sama sekali.
Satu minggu berlalu sejak surat Keenan berada di tanganku. Esoknya aku hanya berbaring di kamar, menangis jika teringat Keenan. Sampai dua hari kemudian, aku memutuskan untuk mendatangi Alex.
Namun rupanya Alex mengikuti teladan Kakaknya. Ia pun menghilang. Rumahnya kosong, benar-benar tidak ada orang. Maka aku kembali ke apartemen, basah kuyup pada sore itu karena aku terlalu shock dengan kepergian Alex.
Dan kemaren, akhirnya aku bertandang lagi ke Cafe ini. Berharap Alex akan muncul, namun tidak sama sekali.
Max terus memberikan pertanyaan, yang tidak pernah kujawab. Seperti sekarang ini.
"Bagaimana pekerjaanmu? Kulihat puisimu tidak ada lagi di halaman belakang?" kata Max.
Aku hanya menatap kosong Max, pikiranku melayang jauh.
"Al, aku tidak tau apa yang terjadi padamu. Dan juga Alex," kata Max. Aku terlonjak kecil mendengar nama Alex disebut. "Aku punya kuping untuk mendengar, dan punya mulut untuk memberi saran. Untukmu, kapan saja."
Tersentuh dengan kata-kata Max, aku pun berusaha tersenyum. "Thanks, Max. Aku baik-baik saja."
"Al, gila kalau ada yang bilang kau baik-baik saja sekarang ini. Kau berantakan! Wajahmu pucat, lelah. Lingkaran hitam dibawah matamu besar sekali, bibirmu tidak merona merah lagi, dan matamu kehilangan cahayanya."
Aku menggigit bibir bawahku, menahan tangis mendengar penuturan Max.
Aku beranjak dari kursi, mengabaikan panggilan Max.
Kutatap jalanan yang basah karena hujan seharian tadi.
Kemana aku harus pergi? Kemanapun tidak akan membawaku ke Alex, apalagi Keenan.
Aku butuh seseorang... yang bisa mendengarkan semua keluhanku.
Seakan ada lampu yang menyala di otakku, aku pun langsung memanggil taksi.
Aku akan menemui Aletta, psikologku. Ia membantuku melewati masa-masa sulit saat ditinggal Keenan. Meskipun tidak menghapus semua kesedihanku, tapi Aletta membantu banyak.
Semoga ia tidak bosan mendengarku menyebut Keenan, dan juga Alex.
***
Aku sampai di rumah sakit tempat Aletta bekerja. Aku tidak perduli hari sudah gelap, aku butuh Aletta sekarang.
Aku berjalan ke resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa saya bertemu Dr. Aletta?"
"Sudah membuat janji?"
"Belum, tapi saya teman dekatnya."
Resepsionis itu mengambil telepon, sepertinya ia menelpon Aletta. Ia menanyai namaku, dan beberapa menit kemudian, ia bilang Aletta akan datang menemuiku sekarang juga.
Aku menunggu Aletta gelisah. Aku benci rumah sakit. Benci bau obatnya. Dan semakin benci karena Keenan menghabiskan waktunya disini.
"ALICE!"
Aku menoleh, Aletta berlari ke arahku. Sedetik kemudian kami sudah berpelukan, dan belum apa-apa aku sudah mau menangis.
"Oh, Al, kuharap bukan ia lagi kali ini?" tanya Aletta saat kami berjalan ke ruangannya.
Aku tersenyum pahit. "Tentu saja Keenan, ditambah seorang lagi yang bernama..."
"Al?"
Aku berhenti berjalan. Kakiku menolak bergerak begitu mataku melihat sosok pria yang berjalan masuk ke ruangannya terseok-seok.
"Alice, ada apa?" tanya Aletta. Matanya melihat apa yang kulihat.
"Yang barusan lewat tadi..." kataku tercekat.
"Oh, itu Alex. Sudah seminggu ia disini. Ia sakit ginjal, dan aku memberinya semangat setiap hari. Kau tau, waktunya singkat sekali."
Kurasakan kepalaku berputar, namun hatiku menjerit, membuatku tetap sadar. "Tidak mungkin..."
"Kau kenal Alex?" tanya Aletta cemas. "Bagaimana kalau kita ke ruanganku sekarang? Kau tampak gawat, Al!"
Aku berjalan perlahan, syukurlah kakiku bisa bergerak lagi. Kuabaikan panggilan Aletta yang keheranan. Tujuanku cuma satu: pria yang kulihat tadi.
Aku berdiri didepan pintu kamar pasien. Mataku tidak mungkin salah lihat. Rambut itu, postur tubuhnya, wajahnya yang pucat, pastilah ia...
"Alex?"
Alex memutar badannya, terkejut melihatku.
"Alice?" bisiknya ditengah kegelapan.
"Oh, Alex!"
Aku berlari menyebrangi ruangan dan menghambur memeluk Alex. Kudengar ia tertawa sedangkan aku terisak keras.
"Padahal aku sudah mengatakan selamat tinggal padamu..." Alex membelai kepalaku.
"Tapi aku tidak. Selamanya tidak akan, kau tidak akan pergi kemana-mana lagi, Alex. Kau akan bersamaku selamanya," ucapku, terengah-engah. Mengatur nafas untuk berbicara sekaligus menangis. "Kau tidak akan pergi meninggalkanku dirumah sakit ini, tidak akan."
Alex tertawa lagi. "Kalau maumu begitu, Al, akan kuusahakan untuk tetap tinggal..."
***
Aku membuka mataku, silau dengan sinar matahari yang masuk melewati jendela.
Kilasan kejadian muncul silih berganti di benakku.
Aku menemukan Alex dirumah sakit. Sudah seminggu ia disini karena... sakit ginjal?
"Alex," gumamku, ketakutan.
"Alice, kau sudah bangun?"
Aku melihat sekeliling. Kamar rumah sakit, dan aku berada di atas kasur. "Bagaimana..."
"Tadi malam kau kelelahan, kau terus menangis. Jadi kau tidur di kasur itu sementara aku tidur di sofa. Apa badanmu sakit semua? Seminggu aku tidur di kasur keras itu, dan ternyata sofa jauh lebih empuk."
Aku turun dari kasur, mendatangi Alex dan memeluknya. "Alex, you still here," kataku lega.
"Tentu saja, kau bilang aku tidak boleh pergi kan tadi malam?" Alex tertawa.
Alex membawaku ke sofa. Aku duduk menghadap Alex. "Ceritakan, semuanya, kumohon."
Alex menarik nafas, dan kusadari wajahnya sepucat tembok. Bibirnya tidak lagi merah, pipinya pun begitu. Ada lingkaran hitam dibawah matanya yang kubenci; Alex terlihat sangat sakit.
"Jadi... Keenan sudah sakit cukup lama. Awalnya kami kira hanya sakit perut biasa, lalu kami bawa ia kerumah sakit, dan ternyata ginjalnya bermasalah. Itu ulang tahun kesebelasku, dan itu ulang tahun paling buruk yang pernah ada.
"Sejak saat itu, tidak ada yang menjaga Keenan sehebat aku. Aku menemaninya kemanapun ia pergi, sampai ketika ia sudah beranjak dewasa, ia bisa mengurus dirinya sendiri. Ia tau apa yang harus ia lakukan kalau perutnya sakit, dan aku bisa menjalankan hidupku tanpa harus mengikuti Keenan kemana-mana lagi," kata Alex sambil tersenyum.
"Sampai suatu hari, ia pulang dengan kemeja putihnya penuh noda cokelat. Ibu bertanya itu apa, dan dia bilang dia baru saja bertemu bidadari di cafe. Sejak saat itu aku tau kalau Keenan sedang jatuh cinta, secara diam-diam tentu saja. Ayah tidak pernah membolehkan Keenan untuk pacaran karena penyakitnya, tapi Keenan tidak perduli.
"Keenan kemudian menunjukkan foto bidadarinya. Wajahmu cantik sekali di foto itu. Ia selipkan di buku catatannya. Setiap hari, Keenan selalu bercerita tentang Alice. Alice yang sedang meminun Vanilla Latte, Alice yang sedang membuat puisi, dan suka sekali dengan cupcake vanilla...
"Mungkin kau heran saat pertama kali kita berbicara. Darimana aku tau kalau kau penulis puisi di Sun Magazine? Dan kulihat kau terkejut saat melihat cupcake vanilla di kotak piknik kita. Aku mengenalmu sangat baik karena Keenan selalu bercerita kepadaku."
Aku menekap mulutku, tak percaya.
"Lalu suatu sore, Keenan bilang perutnya sakit. Aku langsung ketakutan, tapi ia bilang jangan beritahu siapapun. Tengah malam, Keenan kami bawa kerumah sakit. Dokter bilang ia harus transplantasi ginjal, secepatnya. Aku tau ginjalku pasti akan cocok, maka aku langsung menawarkan diri. Setelah diperiksa, aku benar. Prosesnya tidak mudah, dan waktunya lama. Maka Keena memintaku untuk menaruh buket bunga dan surat didepan rumahmu. Bilang kalau Keenan harus ke Afrika selama dua bulan. Setelah itu, operasi dilakukan. Pemulihan kami berdua sangat lama, dan kurasakan badanku melemah. Tapi aku berharap Keenan akan sembuh, tapi kenyataan berkata lain..."
Aku menyeka ujung mataku. Mendengarnya langsung dari Alex membuatku semakin terpuruk.
"Transplantasi itu gagal. Entah tidak cocok atau memang tubuh Keenan yang menolak, aku tak pernah tau. Keenan semakin parah, dan aku pun sakit. Tapi, tidak ada yang pernah tau kalau aku sering kesakitan di bagian perut, aku menyembunyikannya. Tidak ada yang boleh tau, fokus kami hanya boleh untuk Keenan.
"Keenan bertambah lemah. Dan malam itu aku tidak lupa, ia bilang akan menemuimu untuk yang terakhir kali. Hari itu datang, Keenan terlihat sangat sehat. Ia izin jalan-jalan keluar rumah sakit sebentar, dan aku mengantarkannya ke apartemenmu. Ia membawamu ke Eiffel Tower, memelukmu seakan itu terakhir kalinya. Kuabadikan kalian berdua dalam kameraku..."
Aku lalu teringat foto ku dan Keenan yang dipajang di meja panjang dirumah Alex. Ternyata... ternyata...
"Itulah hari terakhir Keenan bertemu denganmu. Setelah itu, Keenan menjalani perawatan intensif, minum banyak obat, dan wajahnya semakin pucat. Setia hari itu pula aku membelikannya Sun Magazine, dan ia langsung membuka halaman terakhir, hanya untuk membaca puisimu.
"Berbulan-bulan berlalu, Keenan hanya dirumah sakit. Ayah dan Ibuku hilang harapan, tapi aku tidak. Keenan saudaraku satu-satunya, dan aku tidak mau kehilangannya. Tapi, sore itu, Keenan duduk di taman rumah sakit. Kuperhatikan ia dari kejauhan, lalu aku menangis. Kurasakan Keenan sudah berhadapan dengan waktu terakhirnya."
Aku menatap Alex yang sekarang matanya berkaca-kaca. Aku saja sakit mendengarnya, bagaimana ia yang bercerita dan membuka luka lama?
"Malam itu, selamanya pun aku tidak akan lupa. Keenan memberiku amplop cokelat, yang harus kuberikan padamu kalau tiba saatnya. Dan satu amplop lagi untukku. Tak lama, Keenan pun menyerah. Belum pernah kulihat Ibu menangis sehisteris itu, dan Ayah terus memeluk badan kaku Keenan. Aku hanya berjalan keluar rumah sakit dan membaca surat dari Keenan untukku."
"Apa isinya?" tanyaku perlahan.
Alex tersenyum tepat pada saat air matanya jatuh. "Isinya... ia sangat menyayangiku, ia bilang aku adik yang paling hebat yang pernah ada. Dan ia ingin aku menjagamu, menggantikan Keenan. Sampai kau menemukan orang lain, aku harus menjagamu."
Aku terisak pelan, setengah mati menahan air mataku.
"Lalu, aku mulai mencarimu. Dan kulihat kau selalu datang ke cafe yang sama setiap harinya. Lalu aku mengawasi dari mejaku disudut kanan, memperhatikanmu," Alex menyeka ujung matanya. "Semua puisimu kubaca, dan hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mendatangimu. Kau tentu masih ingat, aku duduk di bangku favoritmu, kan?"
Aku tertawa parau. "Tentu saja. Aku dikejar deadline waktu itu, dan kau sangat mengganggu."
Alex ikut tertawa. "Al, sekarang ada yang harus kukatakan, sebelum terlambat."
Tawaku hilang. Alex memegang tanganku. "Alice, aku mencintaimu. Sejak pertama kali aku meletakkan fotomu dengan Keenan di meja panjang, setahun yang lalu. Aku mengawasimu, melihatmu bergerak, mengagumi caramu tersenyum dan tertawa. Aku tau kenapa Keenan tak ingin kehilanganmu, karena aku pun begitu."
Aku menganga medengar perkataan Alex. "Alex... kau?
Alex tersenyum. Senyum yang selalu kurindukan. "Ya, sudah sangat lama. Tapi aku tau, hatimu selamanya hanya untuk Keenan, kan? Jangan merasa bersalah, aku tidak apa-apa."
"Alex, aku... aku..." ucapku terbata-bata.
"Al, tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu hanya karena kau tak punya rasa yang sama terhadapku!" Kudengar Alex tertawa. Namun tawanya terdengar sedih.
"Kurasa aku harus ke kamar mandi," kata Alex, beranjak dari kursi dan masuk ke kamar mandi. Kudengar suara air dari shower.
Aku termagu, diam menatap lurus ke depan.
Alex mencintaiku. Aku pun begitu. Namun ia terlanjur menyimpulkan bahwa aku selamanya hanya akan mencintai Keenan.
***
Beberapa hari kemudian, aku pergi ke rumah sakit lagi, setelah berhari-hari menenangkan diri di apartemen.
Aku tetap mengunjungi Alex setiap hari, walaupun rasanya ada yang mengganjal dihatiku sejak pernyataan Alex hari itu. Namun toh Alex tetap bersikap biasa saja.
Tapi sekarang aku tau, apa yang harus kulakukan dengan hidupku. Siapa yang akan kupilih diantara Alex dan Keenan, walau satunya sudah pergi dan tidak ada disini lagi.
"Hai, Al! Mengunjungi Alex lagi?" tanya Aletta.
Aku mengangguk.
"Alex ada di taman rumah sakit, kurasa ia butuh udara segar."
"Oh, terima kasih, Aletta," kataku riang.
"Kau masih tidak mau bercerita apa yang terjadi antara kau dan pemuda tampan bernama Alex ini?" goda Aletta, membuatku tertawa.
"Mungkin nanti malam, setelah Alex tertidur," kataku tersenyum.
Aku pun segera berjalan ke taman rumah sakit, dan kulihat di bangku Alex duduk disana, menatap langit sore.
"Hai Alex..." sapaku, duduk di samping Alex dan memeluknya.
Alex membalas pelukanku. "Hai, Al, bagaimana harimu? Puisimu hari ini indah sekali."
Aku tersenyum. "Puisi itu untukmu."
"Benarkah? Wow... terima kasih," kata Alex, tersenyum. Ia lalu mencium keningku singkat.
Aku menyenderkan kepalaku ke Alex, mendengarkan detak jantungnya yang teratur. Alex semakin sehat akhir-akhir ini.
"Alex?"
"Hmmm...."
"Orang tuamu masih tidak datang kesini?"
"Tidak. Aku tak akan membebani mereka dengan keadaanku sekarang. Maksudku, apa sih yang kau harapkan dari pemuda dengan satu ginjal saja?"
"Banyak," kataku.
"Maksudmu?" tanya Alex, bingung.
"Aku akan menghabiskan hidupku bersamanya, tertawa sebanyak mungkin, menikah dengannya, punya anak dan berbahagia selamanya."
"Rencana yang indah. Biar kutebak, itu rencanamu bersama Keenan, kan?"
"Tidak," kataku. Kurasakan badan Alex menegang.
Aku menatap Alex lekat-lekat. "Itu rencanaku bersamamu, Alex."
Alex tercengang. "B-b-bersamaku?"
Aku mengangguk, tersenyum penuh semangat. "Kau hanya memperdulikan perasaanmu saja, kau tidak menanyaiku. Apa kau tau perasaanku terhadapmu?"
Wajah Alex memucat. Ia terbatuk sebelum menjawab. "Tidak."
"Kalau begitu kau harus menanyakannya padaku," kataku.
"Oh, baiklah. Alice, bagaimana perasaanmu... terhadapku?"
Hening. Sengaja aku tidak menjawab cepat. Kubiarkan Alex menunggu.
"Al, bisakah kau menjawab sekarang atau aku akan lari sekarang?" tanya Alex.
Tawaku pecah, kemudian aku memeluk Alex. "Oh, Alex-"
Namun belum sempat aku meneruskan, Alex terbatuk hebat dipelukanku. Tangannya pun terasa dingin di lenganku.
"Alex?" bisikku takut. Namun Alex tidak menjawab.
Kulepaskan pelukanku, dan aku terpekik. Alex sangat pucat dan bersimbah keringat. Kupegang tangannya. Dingin bagaikan es. "Alex, kau baik-baik saja?"
Alex meringis kesakitan dan aku tau jawabannya. "Al, perutku sakit."
"Kita harus kembali kerumah sakit sekarang, ayo, Alex. Dr. Kris akan memeriksamu!"
Aku menarik tangan Alex, tapi Alex tidak beranjak dari bangku taman. "Jangan... biar saja kita disini..."
Alex menarikku agar duduk di sebelahnya lagi. "Alex, jangan main-main, kau sakit, kau harus kembali, kau-"
Alex membawaku ke pelukannya. "Sshhh, Al. Lebih enak disini daripada di kamar rumah sakit."
"Alex..." lirihku ketakutan. "Sebaiknya kita kembali-"
"Tidak, Al. Disini saja," kata Alex pelan. "Sekarang, lanjutkan kata-katamu tadi, aku ingin mendengarnya."
Aku mendekat ke Alex, mendekapnya. "Alex, je t'aime."
Lama sekali hening. Kurasakan tangan Alex membelai rambutku, dan ia mencium keningku. "Katakan kau tidak berbohong, Al."
"Alex, mungkin Keenan menyentuh hatiku cukup dalam. Tapi ia pergi, dan mungkin aku merindukannya setiap saat. Tapi lalu kau datang, mengubah segalanya. Perlahan-lahan, aku tau bagaimana caranya bahagia, dan itu semua berkat kau."
Alex mendekapku lebih erat. "Terima kasih, Al. Itu kata-kata paling indah yang pernah aku terima.
"Tapi... sepertinya waktu sudah menghampiriku," kata Alex dengan suara bergetar.
"Apa maksudmu Alex?"
"Setiap manusia pasti punya waktunya masing-masing... Dan untukku, waktu sudah didepan mata."
Kudengar nafas Alex sangat berat. Kutahan nafasku, marah dan panik disaat bersamaan. "Alex, kau berjanji padaku, kau tidak akan... kau tidak akan..."
Aku tidak melanjutkan ucapanku, selain karena tak sanggup, Alex kembali terbatuk. "Alice... sebentar lagi..."
Aku menggeleng panik. "Alex, kau berjanji, kau bilang tidak akan pergi!"
Alex tertawa pelan, disusul batuknya yang terdengar semakin lemah. "Maafkan aku, aku berbohong... Mungkin waktu akan membawaku pergi."
"Kalau begitu..." kataku pelan, suaraku tercekat menahan tangis. "Say those magical words for me, if you really want to go now..."
Alex melepaskanku, memegang wajahku dengan kedua tangannya. Matanya yang hangat menatapku. "Alice..." katanya jelas. Kutahan isakku. "Aku mencintaimu, kau mau jadi pacarku?"
Air mata meluncur tanpa bisa kutahan. Aku terisak, namun cepat kutahan. "Ya, Alex. Aku mau. I'm yours, forever."
Alex tertawa kecil. Nafasnya kian berat. "Thanks, Alice. I love you," kata Alex. "Waktu sudah berada didepan mataku, tapi aku tenang."
Kupeluk Alex erat-erat, kusenderkan kepalaku di badannya. Mendengar detak jantungnya yang melambat.
"Alice, cinta itu sederhana. Keenan pergi, kau merindukannya. Sama seperti dulu ia masih ada. Sederhana, kan? Kau tetap mencintainya."
"Aku mencintaimu, Alex. Selamanya, sesederhana itu," isakku.
Alex mendekapku lebih erat kedekatnya. "Alice...." bisik Alex. Suaranya hampir tak terdengar.
Aku mendengarkan detak jantung Alex bersamaan desau angin sore. Langit sudah merah-keunguan.
Perlahan, detak itu melambat... lambat... Dan akhirnya detak itu hilang. Tidak kudengar lagi.
Aku memeluk Alex dan menangis tanpa suara.
Alex pergi, menyusul Keenan.
***
Dear Keenan, Pangeran Pertamaku
Terima kasih telah hadir dihidupku, mengajarkanku banyak kebaikan, hal-hal penting, dan cintamu yang tulus-selamanya tidak akan tergantikan oleh apapun.
Terima kasih telah mempercayakan Alex untuk menjagaku. Ia bersamaku, sampai akhir nafasnya bersemu di kota Paris.
Keenan, tidak ada habisnya kalau kuceritakan seberapa besarnya aku merindukanmu tiap detiknya. Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa penjelasan.
Untungnya ada surat-suratmu. Sekarang aku mengerti.
Aku mencintaimu, Keenan. Terima kasih atas segalanya.
Alice.
Dear Alex, Pangeran Terakhirku
Apa kabarmu, Alex sayang? Aku merindukanmu setiap harinya sejak kepergianmu.
Keenan mungkin pangeran pertamaku, tapi kaulah yang terakhir.
Aku mencintaimu, Alex. Tanganku bergetar menulis surat ini. Masih bisa kurasakan pelukanmu, suaramu di kepalaku terdengar nyata.
Alex, kau benar. Cinta itu sederhana.
Kita saling mencintai, namun kau pergi. Tapi toh aku tetap mencintaimu setiap detiknya, dan kurasa kau pun begitu.
Cinta itu sederhana. Terima kasih atas cintamu, Alex.
Yours,
Alice
Kuletakkan surat untuk Keenan di pusaranya setelah kulipat kecil-kecil.
Lalu aku berjalan ke nisan putih sebelahnya, melipat kecil-kecil kertas untuk Alex dan menaruhnya di pusara.
Kutatap kedua pusara yang bersebelahan. Keenan dan Alex. Dua pria yang kucintai, namun keduanya pergi meninggalkanku.
"Keenan, Alex, terima kasih atas semuanya. Aku mencintai kalian."
Aku melangkah menjauh dari pusara, siap membuka lembaran baru, dengan cinta dari Keenan dan Alex yang kutanam selamanya di hatiku.
***
Pangeranku bilang, cinta itu sederhana.
Aku bingung, namun setelah kupikirkan, ia benar.
Kau tetap mencintainya; walau kau harus menunggu
Kau tetap mencintainya; walau ia pergi selamanya
Dan aku tetap mencintai pangeranku, apapun yang terjadi.
Karena, cinta itu sederhana.

You May Also Like

0 komentar

For More